AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

IKPS Bulat Dukung MK-Fauzi

Masyarakat Pesisir Selatan Siap menyatukan dukungan untuk pasangan Muslim Kasim – Fauzi Bahar.

Dorong UNP Lahirkan Pemimpin Mumpuni

Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), bersama alumni UNP, Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Syamsu Rahim Dukung MK-Fauzi

Bukan hanya mendukung, tetapi Syamsu Rahim juga menerima amanat sebagai Ketua Tim Sukses Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Shadiq Pasadigoe Dukung MK-Fauzi

SP : Saya lebih suka melihat ke depan. Bagaimana membangun Sumbar lebih baik, membenahi kesejahteraan masyarakat dan memajukan nagari. Saya dan keluarga mendukung Pak Muslim dan Pak Fauzi untuk kemajuan Sumatera Barat.

Silaturahmi dengan Tokoh dan Perantau Minang

Muslim Kasim dan Fauzi Bahar Bersama tokoh dan perantau minang : Is Anwar, Azwar Anas, Fasli Djalal, Fahmi Idris dan Mulyadi.

Jumat, 27 Maret 2015

NAKHODA BEREBUT KAPAL POLITIK


Pemilihan Gu­ber­nur Sumatera Barat semakin dekat, ba­liho-baliho calon Gu­­bernur mulai bertebaran di jalan-jalan yang ada di Su­matera Barat. Pertarungan ini menarik, banyaknya calon-calon yang ingin bertarung dalam “pesta demokrasi Pro­vinsi”, tak sesuai dengan jum­lah kapal politik yang akan mengantarkan para calon un­tuk masuk dalam bursa calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumbar.

Banyaknya calon belum ada Partai Politik yang me­nyatakan dengan tegas, calon yang akan diusung oleh Par­tainya. Termasuk itu, petahana Irwan Prayitno, bahasa yang digunakan oleh IP, PKS belum mengeluarkan keputusan yang akan diusulkan oleh PKS.  Dengan memiliki 7 kursi di legislatif, PKS membuntuhkan dukungan dari partai lain untuk melakukan koalisi, de­ngan komposisi 13 kursi du­kungan legislatif, peta p­olitik akan mebawa arah angin PKS kepada Gerindra.

Hanura, sebagai partai yang cerdik, menjadi King Maker dengan membuka jalur ‘Kapal Politik” untuk calon Gubernur yang ingin diusung oleh Koalisi Hanura. Dalam posisi ini, Hanura (5 kursi di provinsi) akan mengu­mum­kan koalisi dengan PDIP (4 kursi) serta PKB dan PBB ( masing-masing 1 kursi). D­e­ngan koalisi tersebut sebe­narnya masih kurang karena baru 11, untuk memenuhi 3 kursi lagi Koalisi Hanura sangat “cerdik” menjadi posisi tawar dengan banyaknya calon yang ingin terlibat dalam bursa calon Gubernur/Wakil Gubernur Su­ma­tera Ba­rat(Ha­luan,24/3).

Komposisi anggota DPRD 2014-2019, Partai politik yang memiliki kursi di DPRD Pro­vinsi Sumbar periode 2014-2019 adalah partai Golkar dengan 9 kursi, Demokrat, Gerindra, PAN dan PPP ma­sing-masing delapan kursi, PKS memiliki 7 kursi, Partai Nasdem 6 kursi, Hanura 5 kursi, PDIP 4 kursi dan PKB serta PBB masing-masing 1 kursi.

Memiliki 13 kursi legis­latif, menjadikan Koalisi Ha­nura menjadi “posisi tawar” yang menjadikan Koalisi Ha­nura lebih hebat dalam me­ngelola “perebutan posisi” dalam keraguan calon yang belum memiliki kapal. Diban­dingkan Partai Golkar, dengan adanya tiga calon potensial dari Partai Beringin ini, seolah-olah mereka harus berpecah dari dalam , demi merebut kursi Gubernur.  Sebagai pe­milik 9 kursi di DPRD Pro­vinsi, dan berada dalam “pe­milih tahta” tertinggi legislatif DPRD Provinsi—Partai Gol­kar, kurang jeli membangun “jiwa mengalah” di kalangan internalnya. Akibatnya, Gol­kar dalam melawan peta­hana Irwan Prayitno, terlihat  penuh dengan gegabah.

Diskusi dan wawancara khusus secara terbuka dengan tujuh kandidat calon gubernur di Hotel Grand Inna Muara Padang, 25/3. Mulai dari, Epi­yardi Asda (anggota DPR RI dari PPP), Fauzi Bahar (man­tan Walikota Padang), Syamsu Rahim (Bupati So­lok), dan Shadiq Pasadique (Bupati Tanah Datar). Lalu Muslim Kasim (Wakil Gubernur Sum­bar), Muhammad Kapitra Ampera (pengacara senior) dan terakhir  yang mendaftar  adalah Mulyadi (Anggota DP­R RI Fraksi Demokrat) (Ha­luan, 24/3). Koalisi Hanura mengambil posisi yang me­ngun­tungkan dalam “kebi­ngungan” calon dari partai-partai yang ada, tetapi adanya keraguan dari masing-masing partai dalam mencalonkankan kadernya pada bursa de­mok­rasi Provinsi, pada 9 Desember 2015 nanti, Pilgub Sumbar penuh dengan debar-debar politik.

Gagalnya Golkar
Jika pertemuaan ini ber­langsung dengan penuh tawar-menawar politik, tentunya koalisi ini akan mendatangkan deal-deal politik yang “ge­muk”. Koalisi Hanura, mes­kipun tak mencukupi 13 kursi dalam mengusung Gu­bernur, tetapi dengan ia punya “kue” penentu awal, mempermudah koalisi Hanura, mes­kipun tak me­miliki figur dari partainya. Koalisi Hanura, bisa mem­buat par­tai dan kandidat lain tergantung ke­padanya agar bisa “me­nyiap­kan kapal” un­tuk berlabuh dalam pes­ta demkorasi Su­matera Barat.

Golkar, dengan memiliki calon Syamsu Rahim, Shadiq Pasadique dan Muslim Ka­sim. Dengan “kualitas” kader yang muncul dari kader Gol­kar Sumbar, ketiga orang ini me­miliki kapasitas yang cu­kup baik. Namun, jika kapa­sitas yang baik, tetapi Golkar tak mendapatkan 13 kursi legis­latif, sehingga tak bisa menca­lonkan Gubernur dan Wakil Gubenur dari Partai Golkar secara tunggal. Harus ada dari tiga kader Golkar yang poten­sial tersebut yang mengalah, karena mau tidak mau Golkar membutuhkan partai lain un­tuk membangun koalisi.

Sebagai partai yang men­jadi “lumbung” tokoh, dan kuatnya massa di kalangan akar rumput, Golkar tidak menunjukan sikap egonya dalam memaksakan sesama kadernya bertarung dalam Pilgub. Karena, persoalan Gol­­­kar pusat, pertarungan kubu Ical dan Agung Laksono, masih belum tuntas, maka ini juga akan berdampak dengan kekompakan kader berjuang dalam Pilkada Sumbar. Gol­kar, jika hanya menjadi “King Maker”, sebagai partai yang memiliki suara tertinggi di legislatif, sungguh disayangkan Golkar kalah dalam upaya pengelolaan konflik internal yang berdampak pada “jabatan politis” yang akan direbut Golkar.

Kekuatan politik yang di­miliki petahana Irwan Pra­yitno (IP), memang kuat. Se­bagai petahana ia memiliki amunisi yang banyak dalam memba­ngun jejaring kuat da­lam internal partai. Sehingga, kader Golkar Muslim Kasim yang menjabat sebagai Wakil Gubernur, tidak bisa berbuat banyak, kalau segala tindak tanduk dipegang oleh Gu­bernur (baca: Irwan Prayino). Penguasaan IP yang besar, terhadap birokrasi dan peng­gu­naan fasilitas publik, posisi Muslim Kasim, mes­kipun ia Wakil Gubernur lebih lemah dalam kadar popularitas dari teman sekadernya di partai Golkar: Shadiq Pasadique dan Syamsu Rahim, yang menjabat sebagai Bupati.

Pertimbangan-pertim­ba­ngan yang matang harus di­pikirkan oleh Partai Golkar Sumbar, dalam menetapkan calon yang akan diutus Golkar, untuk bertarung dalam kom­petisi Pilgub Sumbar, jika pertarunga Pilgub terjadi per­temuan antara kader Golkar. Posisi ini menguntungkan bagi Petahana untuk menang kem­bali, dengan memanfaatkan “tak adanya dari tiga kader Golkar” tersebut yang akan mengalah. Dengan kondisi seperti ini, banyaknya calon yanga dalam bursa Pilgub Sumbar, ibara Nakhoda tak punya kapal poltik.***

ARIFKI
(Analis Politik dan Pemerintahan UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas)

Kamis, 26 Maret 2015

Kampanye Dengan Fasilitas Daerah


Dalam beberapa bulan terakhir, Sumatera Barat (Sumbar) diramaikan dengan baliho-baliho Bakal Calon Gubernur Sumbar yang menghiasi setiap sudut pinggiran jalan. Berbagai trik halus dimainkan sejumlah figur guna meraup dukungan masyarakat. Mulai dari layanan sosial, layanan pendidikan, mengatasnamakan pemerintah, bahkan ada yang secara terang-terangan menyatakan kesiapannya memimpin Sumbar lima tahun kedepan.

Calon incumbent misalnya, menyuguhkan keberhasilan pembangunan Sumbar dalam lima tahun terakhir. Sebagian kalangan menilai, baliho yang dipasang Irwan Prayitno tersebut merupakan hal yang wajar karena posisinya sebagai Gubernur Sumbar yang berhak menggunakan fasilitas daerah. Namun, kalangan lain berpendapat, sikap orang nomor satu di Sumbar ini tak etis karena yang ditonjolkan adalah figur Irwan dan bukan keberhasilan pemerintah.

Sehingga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum karena berkampanye dengan fasilitas daerah. Jamak diketahui Irwan akan kembali bersaing dalam perebutan kursi gubernur untuk satu periode berikutnya.

Fasilitas Daerah
Baliho merupakan fasilitas “gratis” yang diberikan negara kepada daerah sebagai media informasi publik atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pasal 47 Ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyebutkan, reklame atau baliho yang diselenggarakan pemerintah bukanlah objek dari pungutan pajak daerah.

Ketentuan ini dimaksudkan mempermudah pemerintah melakukan sosialisasi program dan hasil kerja pemerintah kepada masyarakat tanpa dikenai pajak. Hal serupa juga diatur dalam Perda Kota Padang No. 8 Tahun 2011, dimana hanya untuk kepentingan pemerintahlah fasilitas daerah itu dapat digunakan secara gratis.

Senada dengan itu, UU No. 8/2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga mengatur hal yang sama. Dimana terdapat larangan bagi peserta Pemilu menggunakan tempat atau gedung milik pemerintah sebagai tempat atau ruang kampanye, begitu juga dengan tempat informasi publik yang hakikatnya adalah milik pemerintah.

Oleh karena itu melarang keras pejabat publik memanfaatkan fasilitas daerah untuk kepentingan pribadi adalah sikap elok yang harus dilakukan. Bukan tanpa sebab, jika terbukti, pemanfaatan fasilitas daerah untuk kampanye oleh bakal calon kepala daerah merupakan pelanggaran berlapis yang tentu berdampak serius pada pencalonannya kedepan.

Menghindari Pajak
Memang terbilang “susah” memisahkan antara kampanye (terselubung) yang dilakukan calon incumbent dengan pelaksanaan tugasnya sebagai kepala daerah, terutama dalam penggunaan fasilitas daerah sebelum tahapan resmi Pilkada dilakukan. Jika ditelisik konstruksi UU No. 28/2009 hanya mengizinkan beberapa agenda yang tak dikenai pajak, seperti penggunaan baliho oleh pemerintah pusat, provinsi, atau pemerintah daerah.

Serta penyelenggaraan kegiatan sosial, atribut partai politik, organisasi kemasyarakatan dan sejenisnya. Celah inilah yang sering dimanfaatkan bakal calon kepala daerah persisnya sebelum tahapan Pilkada dimulai agar tak dikenai pajak. 

Sebut saja, Baliho Irwan Prayitno yang berkedok program pemerintah dan layanan sosial, Hendra Irwan Rahim, ketua DPRD Sumbar dan Epyardi Asda selaku anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bersembunyi dibalik partai politik, Fauzi Bahar, mantan Wali Kota Padang dua periode mengatasnamakan layanan pendidikan, dan nama lainya seperti Bupati Tanah Datar, Shadiq Pasadigoe, serta Wakil Gubernur Sumbar, Muslim Kasim yang sepantasnya juga dikenakan pajak.

Namun dari kesemua nama tersebut, sosok tersohor yang paling mendapat sorotan publik adalah Irwan Prayitno. Hal ini dikarenakan Irwan sedang mengemban amanah daerah dan tentu rentan penyalahgunaan wewenang.

Alasan utamanya adalah fasiltas daerah yang digunakan Irwan dalam “promo daerah” kali ini dipajang dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Sumbar plus bakal calon kepala daerah 2015, sehingga semua baliho yang terpajang luput dari jangkauan pajak daerah. Persoalan ini tentu perlu mendapatkan perhatian serius dari penyelenggara Pemilu dalam melihat realitas politik Ranah Minang dewasa ini.

Setidaknya ada dua kemungkinan pelanggaran yang dilakukan calon incumbent tersebut. Pertama, dugaan pelanggaran administratif penggunaan baliho. Di mana, apabila terbukti, pelanggaran tersebut harus segera dihentikan agar negara atau daerah tidak dirugikan. Pada saat bersamaan, peserta Pilkada lainya juga tidak dirugikan akibat “keuntungan” menggunakan fasilitas daerah oleh salah satu bakal calon (incumbent).

Kedua, terdapat indikasi tindak pidana Pemilu. Pemakaian falisitas daerah guna keperluan kampanye dapat digolongkan sebagai perbuatan merugikan keuangan atau pemasukan daerah dari sektor pajak. Di mana, perbuatan tersebut secara tegas dilarang dan disertai ancaman pidana dalam UU Pemilu.

Tindak Lanjut
Kelenturan UU Pajak dan Retribusi Daerah tampaknya harus segera diregangkan oleh penyelenggara Pemilu agar tahapan pemilihan orang nomor satu di Sumbar kali ini berjalan lebih fair. Oleh karenanya ada beberapa upaya yang dapat dilakukan penyelenggara Pemilu guna mewujudkan Pilkada yang berkeadilan.

Pertama, Menyangkut keikutsertaan kepala daerah (calon Incumbent) dalam Pilkada, batas pemisah antara kapasitas jabatan dan pencalonannya kembali pada Pilkada berikutnya itulah yang mesti dijaga dan digariskan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebab, titik rawan penyimpangan ada disana. Alibi bahwa fasilitas daerah sebagai fasilitas yang dapat dipergunakan gubernur sebelum tahapan Pilkada dimulai sangat tidak relevan dan harus dikesampingkan.

Tidak satupun ketentuan, baik yang berhubungan dengan UU Pilkada maupun UU Pajak dan Retribusi Daerah yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk maksud “baik” itu. Kedua, demi terselanggaranya perhelatan besar demokrasi Sumatera Barat yang lebih berimbang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat mengeluarkan aturan yang berisikan larangan bagi calon incumbent menggunakan fasilitas daerah dalam berkampanye. 

Aturan semacam ini dapat dipertegas bila kepala daerah yang ingin mencalonkan diri kembali pada Pilkada berikutnya dilarang menggunakan fasilitas daerah dalam bentuk apapun dalam rangka kampanye minimal enam bulan sebelum tahapan resmi Pilkada diumumkan. Atau program dan hasil kerja pemerintah yang hendak diumumkan melalui media apapun dilarang menampilkan figur calon kepala daerah minimal waktu yang telah disebutkan sebelumnya.

Hal ini bertujuan meminimalisir pelanggaran Pilkada dan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi kuat (sering) dilakukan calon incumbent di daerah manapun. 

Ketiga, Bawaslu harus segera proaktif menyelidiki setiap kemungkinan yang berpotensi besar terjadinya pelanggaran Pemilu. Tidak pandang apakah itu calon incumbent sekalipun mesti diberlakukan sama dengan calon kepala daerah lainya. Membiarkan dugaan pelanggaran tersebut berlalu begitu saja, sama halnya membiarkan Pilkada 2015 di Sumbar berjalan secara tidak fair. Semoga. (*)

Agil Oktaryal - Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum, Unand

Senin, 23 Maret 2015

Pilgub Sumbar 2015, Antara Harapan, Mimpi dan Kenyataan


Agaknya ada yang menggelitik penulis yang akhirnya membuat penulis ingin membahas tentang pergulatan politik di Sumatera Barat, trend politik terus berkembang dari periode ke periode. Tahun 2010 lalu, peta politik seakan sudah bisa dipastikan ada di tangan Marlis Rahman, karena Marlis diangkat jadi gubernur sepeninggal Gamawan yang didaulat menjadi Mendagri, namun apa yang terjadi peta politik berubah dengan hadirnya jagoan PKS yang murni orang politik yakni Irwan Prayitno. Irwan yang menjadi kuda hitam Pilgub yang berhasil meraup suara hingga 32% dengan berpasangan bersama Muslim Kasim periode 2010-2015. 

Memasuki tahun politik Pilgub Sumbar 2015 trend politik juga berkembang dengan munculnya nama-nama yang tidak asing bagi warga Sumbar, sebut saja Fauzi Bahar, yang merupakan Walikota Padang dua periode 2004-2014. Kehadiran Fauzi Bahar memasuki pertarungan politik bukanlah orang baru, yang telah merubah wajah politik lokal daerah ini. Fauzi sudah memulainya sejak tahun 2010 lalu, namun akhirnya tumbang melawan kedigjayaan Irwan Prayitno sebagai tokoh muda kala itu, bersama urang piaman Muslim Kasim. Hasrat politik Fauzi Bahar kembali muncul dengan menghadirkan jargon bernas "sang inspirator" yang memenuhi sudut jalan. 

Pertarungan politik hadir juga memasuki di Medsos dengan adanya lomba selfie bersama sang inspirator, Fauzi tetap kukuh dengan pendiriannya masuk dalam blantika persaingan peta politik Sumbar. Nama selanjutnya yang hadir adalah Shadiq Pasadiqoe, yang merupahkan Bupati Tanah Datar dua periode dan juga mantan birokrat Dinas Perhubungan Provinsi Sumbar. Shadiq, sebagai orang yang sudah lama mengecap asam garam politik, sukses Shadiq berhasil membawa istrinya Betty Pasadiqoe menjadi anggota DPR RI. Keberhasilan Shadiq Pasadiqoe ini, bukan aji mumpung tetapi berkat usaha yang sudah lama ketika berkancah politik di Sumbar, balihonya dan kalendernya bertebaran di sudut-sudat jalan di Sumbar.

Nama selanjutnya yang tidak kalah menariknya adalah Epiyardi Asda, politisi PPP yang pernah mengalami pasang surut dinamika politik internal partai, yang membuat partainya terpecah jadi dua. Politisi sekaligus Ketua DPW PPP Sumbar ini mempunyai jargon "Apakah Sumbar sudah maju". Namanya santer dikenal di kalangan masyarakat Sumbar, program yang ada dipusat bisa ditariknya kedaerah berkat kepiawaian mengarak bola pembangunan dari pusat ke daerah. 

Ajo piaman Muslim Kasim, Wakil Gubernur Sumbar, tentunya publik sudah banyak mengenal namanya, MK panggilan akrabnya merupahkan mantan KaBulog Sumbar dan dia sangat dikenal di komunitasnya. Ia salah satu penentu keberhasilan Irwan Prayitno menjadi Gubernur periode 2010 -2015. Menjadi seorang Wakil Gubernur tidak menyurutkan langkahnya untuk berbuat untuk Sumbar dan lelaki paruh baya ini tidak segan-segan untuk mengkritik Irwan selaku gubernur. Nama yang selanjutnya yang tidak kalah menariknya adalah Taslim yang merupakan kader muda PAN yang cukup malang melintang di kancah politik nasional. Selanjutnya Nasrul Abit bupati dua periode tersebut, sempat tertangkap kamera terlihat akrab dengan Irwan Prayitno dalam sebuah perhelatan di Pessel. 

Hendra Irwan Rahim Ketua DPRD Sumbar yang juga digadang-gadang untuk jadi Gubernur Sumbar periode 2015-2020. Nah, selanjutnya nama yang sudah pasti publik mengenalnya yakni petahana Irwan Prayitno yang digadang-gadang siap melanjutkan jabatannya sebagai Gubernur Sumbar. Selain itu tokoh yang juga diperhitungkan adalah Mulyadi yang merupakan Wakil ketua Komisi VII DPR RI, yang sepertinya ingin mengulang sukses Irwan Prayitno sewaktu jadi Anggota DPR RI menjadi orang nomor satu di Sumbar. Sebenarnya banyak lagi nama-nama calon gubernur lainnya yang tidak penulis sebutkan dalam tulisan ini, yang sederetan nama di atas punya hasrat politik yang sama untuk menjadi orang nomor satu di Sumbar.

Namun menurut kalkulasi politik yang dihimpun oleh penulis nama yang masih sangat diperhitungkan adalah Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno. Politisi PKS ini memiliki kader yang militan dengan bekal suara 7% di Sumbar. Dia memiliki kesempatan yang besar dibandingkan pesaingnya, namun jika peluang ini tidak dioptimalkan dengan baik bahkan tidak mustahil Irwan akan tumbang di Pilgub mandatang.

Hasrat politik saja tidak akan cukup untuk menjadi orang nomor satu di Sumbar, perlu usaha yang komprehensif, terstruktur dan sistematis, turun langsung ke lapangan dengan gaya blusukan hingga nongkrong di medsos merupakan modal awal namun bukan penentu jadi gubernur. Suksesi jadi seorang pejabat akan sangat bergantung pada garis tangan seseorang itu sendiri dan doa dari keluarga serta seluruh pendukung yang merupakan aspek vertikal kepada tuhan. Suksesi kepemimpinan Gubernur Sumbar 2015-2020 akan sangat berpengaruh bagi perkembangan Sumbar di masa mendatang.

Nurrahmat adalah Pimpinan Redaksi MinangkabauNews yang juga Mahasiswa Universitas Ekasakti Padang 

minangkabaunews.com

Minggu, 22 Maret 2015

Catatan Yal Aziz : Menerawang Cagub Sumbar


Meskipun pemilihan Gubernur Sumbar akan digelar, 9 Desember 2015 mendatang, namun persoalan pilgub Sumbar elah menjadi gunjingan masyarakat dengan berbagai latar belakang, yang berceloteh, baik di warung-warung atau pun di dunia sosial facebook ataupun twitter, maupun media massa cetak serta online.

Yang lebih menarik perhatian, setiap calon yag berambisi maju di pilgub Sumbar, sudah mendaftar keberbagai partai, sehingga menjadi berita hebat bagi media massa  yang ikut ambil bagian dalam pencitraan sang calon yang tanpa tedeng aling-aling  mengumbar berbagai janji  politisnya. 

Kini, begitu banyak sosok calon gubernur yang muncul untuk dipilih masyarakat, ado yang lah gaek, ado yang masih mudo dan ado pulo yang masih berkuaso, ado yang alun ado apo-apo, sehingga membuat sebagian masyarakat bingung mau pilih yang mana. Soalnya, janji-janji politik yang disodorkan, boleh dikatakan hampir sama, yakni masalah adat ataupun budaya.

Keberadaan ninik mamak, pemangku adat, serta para pendekar, sejak enam bulan lalu sangat laris manis menjadi bahan gunjingan masyarakat. Soalnya, semua calon gubernur yang akan ambil bagian di pilgub Sumbar, semuanya melakukan pendekatan kepada para ninik mamak dan membawa janji akan peduli adat, melestarikan adat dan bahkan ada yang berani terang-terangan membawa Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau alias DIM.  

Pendekatan yang dilakukan masing-masing calon gubernur Sumbar tersebut, tak hanya sebatas menggelar berbagai kejuaraan pencak silat, tetapi juga melaksanakan berbagai seminar, lokarya, diskusi masalah adat istiadat. 

Terlepas dari pola dan cara yang sedang dilakukan oleh para calon gubernur Sumbar tersebut, yang jelas kita harus atau mesti mesti memilih pemimpin yang jujur, yaitu jujur terhadap diri sendiri, maupun orang lain. Jujur dengan kekuatan yang dimiliki, sadar akan kelemahan dalam dirinya, serta berusaha untuk memperbaikinya.

Dewasa ini, memilih pemimpin yang adil sangatlah sulit, jika dibandingkan dengan kriteria lainnya. Kebanyakan pemimpin sekarang gayanya membela untuk kepentingan rakyat, namun dibalik itu rakyat dibikinnya sengsara, demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Kemudian, kita pun harus memilih pemimpin atau gubernur yang pandai dan cerdas. Soalnya, orang pandai belum tentu sama dengan orang cerdas. Orang pandai ialah orang yang dapat menjawab semua persoalan dengan ilmunya, seperti kecerdasan berhitung, ilmu teknologi yang bersangkutan dengan kecerdasan Intelektualnya (IQ). Namun orang cerdas mampu membaca keadaan, mencari kesempatan di tengah kesempitan, kalau orang Minangkabau mengenalnya dengan orang yang arif dan bijak. Orang cerdas/arif bijaksana bukan hanya pandai, tapi juga dapat berpandai-pandai demi kemaslahatan rakyatnya. Itulah beda orang pandai dengan orang cerdas atau arif dan bijaksana.

Sebagai pemilih kita mesti cepat tanggap dalam menilai, mana pemimpin yang pandai dan cerdas, mana pemimpin yang cuma pandai. Orang yang banyak bicara dan banyak mengumbar janji.

Dari sekian banyak syarat untuk menentukan pilihan kepada pemimpin, ada cara faktis untuk menuntunnya. Caranya, sebagai pimilih kita bisa bertanya dan mengamati sang calon gubernur tersebut, memimpin rumah tangga dan berhubungan baik dengan para tetangga. Betapa hebat dan pintarnya sang calon pemimpin, kalau anaknya terlibat narkoba, hubungan sek bebas, haruslah  menjadi catatan hitam bagi kita pemilih. Bahasa tegasnya, sosok pemimpin di Sumatera Barat mendatang, haruslah sosok yang berhasil memimin rumah tangga dan keluarganya. Begitu juga kataatannya kepada Allah, dengan melaksanakan shalat lima waktu, puasa, berzakat, serta menunaikan ibadah haji.

Yang tak kalah pentingnya, sosok pemimpin di Sumatera Barat, sosok yang paham dan mengerti masalah Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah. 

Yal Aziz  penulis adalah wartawan tabloid bijak

Senin, 02 Maret 2015

Mengawal Pilkada Serentak


Kita patut bersyukur bahwa polemik dan perdebatan panjang mengenai pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak telah menghasilkan banyak perbaikan. UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sudah direvisi DPR. Salah satu poin penting dalam revisi UU tersebut adalah memutuskan pilkada serentak digelar dalam beberapa tahap. Tahap pertama berlangsung Desember 2015. Tahap itu diperuntukkan bagi wilayah dengan masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2015 hingga semester pertama 2016.

Tahap kedua, pilkada serentak digelar Februari 2017. Tahap itu diperuntukkan bagi masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada semester kedua 2016 dan 2017. Untuk tahap ketiga, pilkada serentak dihelat pada Juni 2018 di semua wilayah dengan akhir masa jabatan 2018 dan 2019. Pengaturan tahap tersebut bertujuan supaya pilkada serentak seluruh Indonesia bisa terlaksana pada 2027.

Selain itu, poin penting dalam revisi UU tersebut adalah pilkada berlangsung hanya satu putaran; pencalonan menggunakan sistem paket (kepala daerah dan wakil); syarat dukungan penduduk calon perseorangan ditingkatkan menjadi 3,5 persen; tidak ada ambang batas kemenangan; adanya pelarangan politik dinasti; sengketa pilkada masih ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum adanya peradilan khusus pada 2027; dan uji publik dihapus. dari regulasi undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah ada nuansa efisiensi tenaga dan anggaran pelaksanaan pilkada serta upaya mencegah nepotisme dalam pemerintahan. Pasalnya, pilkada yang hanya berlangsung satu putaran serta secara serentak akan sangat menghemat biaya. Begitu pula, ketegangan yang tercipta tidak akan ber kepanjangan hingga dua putaran seperti yang sering terjadi. 

Meski demikian, justru karena pilkada berlangsung satu putaran dan secara serentak itulah potensi konfl ik sekaligus pelanggaran sangat besar. Dengan diberlakukannya pilkada secara serentak, TNI-Polri akan kewalahan bila konfl ik juga terjadi secara serentak. Apalagi saat ini masih terdapat dua partai –Partai Golkar dan PPP– yang memiliki kepengurusan ganda.

Bila hal tersebut tidak segera diselesaikan, potensi konflik dalam pilkada tidak hanya terjadi an tarkandidat yang berbeda partai, tapi sesama kader di partai yang sama. Begitu pula, dengan diberlakukannya pilkada satu putaran, setiap kandidat pasti berusaha semaksimal-maksimalnya dan mengerahkan seluruh energi untuk bisa menang. Tentu, bila dipetakan, kecurangan dalam pilkada sesungguhnya dapat dibagi dua, yakni kecurangan saat pilkada dan kecurangan prapilkada. Kecurangan saat pilkada dimulai ketika sang kandidat sudah ditetapkan KPU sebagai peserta (kandidat) pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara. Dalam hal ini, kecurangan bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil perolehan suara.

Namun, yang kerap luput dari pantauan adalah kecurangan prapilkada. Sebagaimana pernah diung kapkan Prof Mahfud MD (2012) dalam sebuah kuliah umum, ada beberapa modus kecurangan pra-pilkada. Pertama, praktik kecurangan yang hanya melibatkan kontestan atau orang yang bertarung. Misalnya, bagi calon perorangan, untuk mengumpulkan kartu tanda pen duduk (KTP) sebagai salah satu syarat, ternyata KTP-nya diambil dari bank, bukan dari dukungan yang bersangkutan. 

Kedua, kecurangan yang meli batkan penyelenggara negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mi salnya, KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pilkada. Atau se baliknya, orang yang memenuhi syarat dicoret atau didiskualifi kasi. Karena itu, untuk mengantisipasi berbagai potensi kecurangan tersebut, dibutuhkan pengawasan ekstra supaya pesta demokrasi di tingkat lokal yang berlangsung secara serentak kali ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tentu, tugas pengawasan tidak boleh diserahkan hanya kepada Bawaslu semata.

Publik luas juga harus ikut memantau pilkada supaya dapat berjalan dengan jujur dan adil serta terhindar dari segala praktik kecurangan. UU Pilkada yang baru itu diharap kan bisa dijadikan alat untuk mem perbaiki tatanan demokrasi su paya lebih baik. 

Jangan sampai ada pihak-pihak yang masih saja ”bermain” dengan mencari kelemahan UU tersebut untuk berbuat culas. Tentu, faktor utama agar pil kada nanti bisa berjalan seperti yang diharapkan sangat bergantung pada penyelenggara pemerintah dan rakyat. Sebagus apa pun konsep dan aturan yang dibuat tidak menjamin pelaksanaan pilkada akan jauh lebih baik.

Sebab, aturan dan UU hanyasebuah alat dan regulasi. Bagaimanapun, sukses tidaknya pilkada serentak nanti sangat bergantung pada aktor- aktor di dalamnya, termasuk sumbangsih masyarakat luas untuk senantiasa mengawasi sekaligus mengawal jalannya demokrasi di tingkat lokal itu. 

Sebab, seperti kata Samuel P. Hun tington (1997), sebagai negara demokrasi baru, Indonesia saat ini dapat dikatakan sukses melalui fase krisis transisi dari otoritarianisme kedemokrasi. Kesuksesan demokrasi kita saat ini tentu jangan sampai ternodai praktik-praktik kecurangan dan keculasan dalam pilkada. Semoga. (*)

Ali Rifan - Research Associate Poltracking, Mahasiswa Pascasarjana UI