AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

IKPS Bulat Dukung MK-Fauzi

Masyarakat Pesisir Selatan Siap menyatukan dukungan untuk pasangan Muslim Kasim – Fauzi Bahar.

Dorong UNP Lahirkan Pemimpin Mumpuni

Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), bersama alumni UNP, Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Syamsu Rahim Dukung MK-Fauzi

Bukan hanya mendukung, tetapi Syamsu Rahim juga menerima amanat sebagai Ketua Tim Sukses Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Shadiq Pasadigoe Dukung MK-Fauzi

SP : Saya lebih suka melihat ke depan. Bagaimana membangun Sumbar lebih baik, membenahi kesejahteraan masyarakat dan memajukan nagari. Saya dan keluarga mendukung Pak Muslim dan Pak Fauzi untuk kemajuan Sumatera Barat.

Silaturahmi dengan Tokoh dan Perantau Minang

Muslim Kasim dan Fauzi Bahar Bersama tokoh dan perantau minang : Is Anwar, Azwar Anas, Fasli Djalal, Fahmi Idris dan Mulyadi.

Selasa, 07 April 2015

KONSEPSI KEPEMIMPINAN IDEAL MANYONGSONG PILKADA


RANAH-RANTAU
Bila tak ada aral mel­intang, pada De­sember 2015 ini di tiga belas kota/ka­bupaten di wilayah Sumatera Barat, bahkan termasuk untuk provinsi Sumbar sendiri akan dilangsungkan pemilihan ke­pala daerah (Pilkada) secara serentak.
Terkait hal tersebut, sudah sejak lama, hingga saat ini dan mungkin sampai dua bulan ke depan, kepada publik lewat berbagai media massa figur-figur yang dianggap layak untuk dijagokan memimpin daerah mulai disebut-sebut dan diga­dang-gadang na­ma­nya. Figur tersebut dari latar bela­kang yang beragam, baik dari kader dan pengurus partai, incumbhent maupun dari ma­syarakat umum yang secara sukarela diminta atau tidak mendaftarkan diri ke partai maupun melalui jalur in­de­penden untuk ikut dalam bursa Pilkada kabupaten/kota/pro­vinsi.

Dalam kesempatan pulang kampung ke Payakumbuh/Limapuluh Kota beberapa hari yang lalu, sepanjang jalan Padang-Payakumbuh saya sem­­­­pat menyaksikan be­berapa baliho/spanduk f­igur calon peserta Pilkada mulai ter­pasang dengan tujuan tentu saja untuk sosialisasi diri. Dari be­berapa baliho/spanduk ter­sebut pada umumnya yang terlihat adalah rigur-figur yang sudah dikenal akrab oleh ma­syarakat daerah ini. Sehingga menurut hemat saya adalah sesuatu pemubaziran dalam pemasangan baliho tersebut. Karena figur yang diper­ke­nalkan adalah sosok yang se­mestinya sudah terkenal, teru­tama lewat karya yang telah diperbuatnya serta kedekatan dan kebersamaannya selama ini dengan masyarakat daerah yang dipimpinnya. Kalau so­sialisasi tersebut masih diang­gap perlu dan penting, per­tanyaannya adalah, selama lima tahun ini bapak ngapain dan ke mana saja?

Hingga saat ini, masih jarang terdengar dan terlihat di ­Su­­matera Barat ini figur dan “wajah baru” s­ebagai calon peserta Pilkada muncul, ter­lebih calon peserta Pilkada yang berasal dari rantau. Kita tidak tahu entah karena faktor apa? Boleh jadi karena be­rkem­bang opini orang rantau yang sekali-sekali pulang kam­pung tidak paham dan tidak me­ngerti per­soalan kam­­pung ha­laman­nya. Se­hingga biar­lah orang di kam­­­pung (di ranah) saja yang diang­gap paling tahu dan me­ngerti kampung hala­man yang maju mengikuti Pilkada.

Fenomena lain yang dirasa menghambat ikutnya orang rantau berpartisipasi sebagai peserta  Pilkada di kampung halamannya adalah alasan bahwa figur dari rantau ter­sebut tidak dikenal atau belum popular namanya di tengah-tengah masyarakat jika di­bandingkan dengan figur “wa­jah lama” yang kembali maju sebagai calon peserta Pilkada.

Faktor lainnya sebagai penyebab orang rantau enggan me­ngikuti Pilkada, ke­mung­kinan disebabkan karena fak­tor materi. Orang-orang di kampung, terutama terkait de­ngan partai dan para pengusung akan mempertanyakan sejauh mana kekayaan orang rantau yang berkeinginan mengikuti Pilkada tersebut secara materi. Bila ia kaya raya, katakanlah sebagai pengusaha sukses di ran­tau, maka buru-buru “pi­nangannya” segera di terima, tapi jika dari segi materi ter­lihat biasa-biasa saja, ber­sahaja, maka harapannya untuk diu­sung sebagai calon peserta pilkada sepertinya sangat tipis.

Kemudian satu hal lagi yang membuat peluang orang rantau kecil untuk mengikuti pilkada di kampung hala­mannya adalah karena ter­dapatnya kecendrungan kan­didat calon peserta pilkada yang diusung partai berasal dari internal partai sendiri. Alasannya klasik, karena partai telah memiliki kader, dan biasanya kader terbaik itu adalah mereka-mereka yang memegang posisi puncak di partai tersebut.

Terlepas dari kecilnya pe­luang orang rantau dalam mengikuti pil­kada di kampung halamannya, baik di kota/ka­bupaten/pro­vinsi, se­bagaimana alasan dan kendala-kendala yang dike­mukan di atas, ada beberapa hal yang patut kita kritisi terkait dengan orang rantau, khususnya dalam meng­hadapi pilkada yang akan datang.

Pertama. Bukankah se­bagai orang Minang kita dia­jarkan pepatah yang berbunyi “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun”? Ung­­kapan nenek moyang ter­sebut mengisaratkan betapa penting dan berharganya posisi orang yang mau merantau, karena dengan merantau ia akan memperoleh banyak pe­ngetahuan dan pengalaman hidup yang diperoleh di negeri orang untuk suatu saat dike­m­bangkan di kampung ha­laman­nya. Jadi ketika mereka yang telah memiliki banyak penga­laman hidup tersebut, karena banyak bajalan banyak nan diliek, kemudian terhambat langkahnya untuk mengikuti pilkada dengan alasan tidak berdomisili di kampung dan tidak mengerti persoalan kam­pung halaman. Sesuatu yang amat disayangkan. Karena tak jarang meski hidup di rantau justru pengetahuannya tentang kampung halaman jauh me­lebihi mereka yang bermukim di kampung.

Kedua. Dari segi po­pu­laritas, sudah dapat dipastikan orang di kampung/ranah lebih dikenal ketimbang orang di rantau. Tapi persoalannya bu­kankah yang ingin kita pilih adalah figur kepala daerah yang mumpuni? Bukan seke­dar po­pular? Oleh karena itu menurut hemat saya upaya men­so­sia­lisasikan atau mem­populerkan calon-calon dari rantau yang berkualitas terse­but, bukan semata menjadi tugas pribadi yang ber­sang­kutan, tetapi juga menjadi tugas tokoh-tokoh ma­syarakat di daerah untuk me­yakinkan masya­rakat­nya.

Ketiga. Orang rantau yang tujuannya merantau untuk berdagang atau jadi pengusaha, lumrah bila ia berhasil maka ia akan memiliki kekayaan dari segi materi. Namun bukan semua yang merantau dengan tujuan materi, tapi lebih pada pengabdian dengan berkerja di instansi pemerintah maupun swasta. Sehingga secara materi ia tidak kaya, namun secara pengalaman boleh jadi ia kaya, karena telah bertugas di banyak bidang dan tempat. Oleh ka­rena itu kalau orang rantau dinilai dari sisi kekayaan ma­teri saja yang didukung untuk maju sebagai calon peserta pilkada, mengabaikan ke­ka­yaan pengalaman, wa­wasan dan kepemimpinan yang dimi­liki, hal ini sesuatu yang patut direnungkan dan diper­tim­bangkan ulang.

Keempat. Kita setuju se­tiap partai punya kader, dan pada umumnya kader-kader ter­baiknya adalah para pe­megang posisi penting di partai tersebut. Namun yang akan kita pilih saat ini kan kepala daerah; orang yang diharapkan dengan segala ke­mampuan yang dimi­likinya dapat mem­bawa ke­majuan bagi kampung halaman atau daerah yang dipimpinnya. Bukan sekedar orang yang mampu meng­gerakkan partai, bukan seke­dar mampu berwa­cana dan menganalisa persoalan di palanta.

Tapi orang yang mumpuni dan memiliki kapabelitas di bidang pemerintahan serta mampu menggerakkan ma­syarakat daerahnya bagi kema­juan yang lebih baik. Sehingga tidak menutup kemungkinan, bahkan boleh jadi figure-figur yang layak diusung sebagai peserta Pilkada tersebut justru banyak terdapat di luar partai dan adanya di rantau.

Tanpa bermaksud me­nge­cilkan tokoh-tokoh da­erah/ranah, dan membesarkan to­koh dari luar daerah/rantau, karena semuanya berpulang pada pri­badi yang ber­sang­kutan, akan tetapi yang ingin disampaikan di sini adalah, bahwa figur-figur pemimpin yang “boneh” ter­sebut bisa berasal dari ranah mau­pun dari rantau, dan ma­sing-ma­sing memiliki peluang yang sama untuk diusung se­bagai kan­didat calon kepala daerah. Namun agar kemajuan daerah dan masyakat cepat dicapai, idealnya potensi kepe­mim­pinan ranah dan rantau ter­sebut disinergikan, dika­win­kan satu sama lain saling me­leng­kapi.  Sehingga menjadi ke­kuatan besar untuk mem­bawa perubahan dan pem­bangunan daerah serta ma­sya­rakat ke arah yang lebih baik dalam lima tahun men­datang. Bagaimanapun ju­ga, ini ha­nyalah sebuah konsepsi un­tuk direnungkan, syukur-syu­kur bila mungkin untuk diwu­judkan. ***

HIKMAT ISRAR(Kandidat Doktor Ilmu Sosial Kebijakan Publik)

Kamis, 02 April 2015

Politik Baliho Mengancam Zona Publik


Kampanye Kepagian Para Calon Pimpinan Daerah
Sejatinya pemasaran politik adalah politisasi yang bertindak sebagai penjual dengan menawarkan gagasan, ide-ide kreatif, pemikiran solutif, integritas, loyalitas, kebenaran, kejujuran, keadilan, moralitas, dan konsistensinya berpihak kepada rakyat. Kemudian rakyat yang bertindak sebagai pembeli dengan menggunakan alat bayar suaranya dalam pemilu (Sipil Institut).

Pemasaran politik menurut Sipil Institut inilah yang menggemakan gaung pengesahan UU No. 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, Wakil Walikota dan Bupati serta wakil bupati telah menggema. Genderang perebutan zona publik berlangsung riuh berhubungan lurus dengan memperlihatkan kekuatan dana calon penguasa.

Secara umum ada 3 kelompok perebut kursi kekuasaan yaitu Incumbent atau yang kita sebut sebagai kepala daerah yang sedang menjabat, Politisi/Kader partai yang menduduki kursi legislatif dan yang ketiga calon independen. Kalau difokuskan kepada ketiga kelompok tersebut apapun strategi dan taktis politiknya, semuanya berikhwal atau berawal dari politik iklan.

Secara formal, metode kampanye yang diatur antara lain pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, iklan media massa cetak dan elektronik, rapat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye serta peraturan perundang-undangan.

Memang benar tidak ada larangan menguasai ruang publik selagi pendanaan berlebih. Politik iklan dan iklan politik merupakan satu kesatuan dengan tujuan membangun opini dan persepsi orang yang melihat atau membaca. Satu pihak memuat tampilan dilain sisi memperdayakan tampilan. Politik iklan dan iklan politik bisa dianalogikan kembar tapi beda.

Perbedaannya tipis antara tampilan dan isi akan tetapi menuai dampak yang sama. Keduanya memakan korban tak bersuara bernama zona publik. Nah, saat korbannya benda mati, maka makhluk hidup yang bersuara, suara yang lantang dari para pemantau dan akademisi.

Politik Alat Peraga
Incumbent memiliki teknis tersendiri dengan memperbanyak alat peraga kampanye tanpa terganggu aturan atribut kampanye. Sebaran atributnya pun tak bisa dielakkan di hadapan pandangan mata, hampir diseluruh lokasi terpampang baliho besar berfoto kandidat yang sedang menjabat. 

Alasan pemasangan baliho sebagai upaya promosi kesehatan dengan ber-KB, menjauhi narkoba, ajakan wisata dan himbauan menjaga kelestarian alam, peningkatan prestasi pendidikan serta ajakan berprilaku baik dan segala hal lainnya. Bahkan untuk seorang gubernur, puluhan balihonya menimbulkan keresahan rakyat terhadap pendanaan serta pembiayaan lamanya iklan.

Karna tidak ada makan siang gratis, istilah ini juga berlaku bagi pejabat yang berkuasa ditahun-tahun politik. Kontestan lain setali tiga uang tak mau kalah. Mari kita lihat di setiap jalan utama, jembatan, papan iklan, serta didepan kantor-kantor partau minimal ada baliho atau spanduk besar menghiasi ruang publik. Bahasa baliho dan spanduk mengutamakan ke-khas-an sang kandidat.

Gaya bahasanya pun beragam dengan mengunakan hasil survey oleh lembaga konsultan dalam membentuk mindset politik rakyat. Hasil survey ini yang mengarahkan kontestan (calon Penguasa daerah) memesan, mencetak dan memajang atribut politiknya. Bahkan ada juga yang menyerahkan semua persoalan teknis politik iklannya terhadap lebaga surey dan konsultan politik yang didanainya.
Efek negatif pemasangan alat peraga sebelum penetapan pasangan calon kepala daerah adalah menjamurnya sampah-sampah politik (baliho/spanduk/poster dan lain-lain). Machiavelli mengingatkan penulis beserta seluruh rakyat Indonesia bahwa setiap penguasa (politisi) harus pintar “hidup dalam kepura-puraan”. Pura-pura empati, bermoral, sopan, santun, bersih, dan berbudi, luhur.
Tiba-tiba murah senyum menebar pesona, tiba-tiba berbudi luhur menyapa setiap tetangga. Tiba-tiba empati suka menyumbang. Tiba-tiba menyantuni anak yatim piatu dan banyak lagi tiba-tiba yang membuat rakyat terkesima memanddang sosoknya.

Kembali ke ranah Minangkabau, khusus untuk perebutan Sumbar-1, sependapat atau tidak dengan machiavelli dan ruslan ismail mage, rakyat harus bisa membedakan mana bahasa politik dengan realitas kinerja politisi. Bahasa politik adalah context yang berisi ajakan bernada provokasi atau pengikat demi menjaga atau mengalihkan fokus rakyat untuk lebih mengenali calon pemimpin yang akan dipilih.

Sedangkan kinerja adalah hasil kerja yang komprehensif, menyeluruh serta jelas peruntungannya bagi kesejahteraan rakyat. Jika kita melihatnya kasat mata, bisa dihitung bahwa peminat kursi Sumbar-1 antara lain : Irwan Prayitno (PKS), Muslim Kasim, Hendra Irwan Rahim dan Shadiq Pasadiqi (ketiganya dari Golkar), Apyardi Asda dan Baharuddin (PPP), Fauzi Bahar dan Taslim (PAN) serta Alex Indra Lukman (PDI Perjuangan). Selain calon-calon penguasa sumbar tersebut masih ada yang lain dan kesemuanya berhak berpesta dalam demokrasi.

Permasalahan yang muncul jika setiap calon penguasa beserta politisi spanduk bersatu menyebarkan spanduk dan baliho. Sudah dapat dipastikan, habis lah ruang-ruang publik dihiasi foto para calon penguasa ini tanpa ada aturan pembatasan kampanye ke-pagi-an mereka. Maka patut lah kita mengingat-ingat pandangan machiavelli, agar rakyat bisa mengkalkulasi antara kampanye, pengalaman kandidat (track record) dan kepentingan masyarakat.

KPU dan Bawaslu pun hanya terlihat diam-diam saja tanpa menjelaskan kepada seluruh rakyat Indonesia terkait perebutan ruang publik oleh orang-orang yang belum pasti menjadi kontestan pemilihan kepala daerah. Seharusnya, KPU dan Bawaslu berinisiatif memuat aturan pembatasan atribut kampanye semenjak dini.

Jangan sampai seluruh ruang publik habis dihiasi atribut kampanye, baru punggawa demokrasi bergerak. Itu namanya rumah sudah jadi arang baru pemadam kebakaran datang. Jangan pula beban kan kepada pemerintah daerah, terlebih kepada kepolisian pamong praja, sudah barang tentu tidak bisa berbuat banyak. Pol PP hanya bisa menunggu instruksi apabila berniat membersihkan atribut kampanye yang kepagian ini.

Permasalahannya, siapkah Pol PP membersihkan ruang publik dari atribut penguasa yang sedang berkuasa? Mari kita tanyakan kepada rumput yang begoyang? Papan reklame yang tak bermulut? atau kepada tanah perkuburan yang hanya bisa berdiam diri?

Kembalilah ke Rakyat
Penulis perlu kiranya mengingatkan para calon penguasa agar tidak mengulang-ulang pemborosan kampanye. Media kampanye dengan pemasangan alat peraga dengan ukuran, bentuk, muatan serta sebarannya memang menjadi hak mereka yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, masyarakat sekarang sudah cerdas untuk memilih pemimpinnya dengan mempertimbangkan kinerja dan peluang perbaikan daerah ke depan.

Rakyat sudah tidak memperdulikan banyaknya alat peraga walaupun itu masih dibutuhkan. Pengurangan alat peraga harus diimbangi dengan taktis lain. Hemat penulis, politisi baik itu incumbent kepala daerah maupun legislator atau politisi spanduk harus kembali ke asalnya “dari rakyat, demi rakyat dan untuk rakyat”. Reposisi calon penguasa kepada rakyat berbentuk jalinan silaturahmi. 

Hal ini memang bahagian dari Jokowi Effect dan itu masih berguna bahkan bermamfaat lebih daripada tebaran poster berukuran raksasa. Silaturahmi akan mengurangi jarak antara politisi spanduk dengan pemilik suara. Perhatian publik akan lebih terfokus kepada kandidat yang dekat secara hubungan emosional daripada calon penguasa yang heboh di tataran alat peraga kampanye.

Calon penguasa bisa melakukan strtategi door to door (DtD) atau self Multi Level Marketing (SMLM). DtD adalah teknis pengenalan diri, baik langsung maupun perantara tim pemenangan kepada rakyat. Sedangkan SMLM adalah strategi membangun jaringan pemasaran politik secara terorganisir melalui agent-agent kampanye berjenjang. Fokus target kampanye adalah bersua langsung orang perorang atau 1 keluarga (sesuai KK).

Dua hal ini, DtD maupun SMLM, memiliki nilai lebih dalam membangun opini dan persepsi orang perorang pemilik hak suara. Opini yang terbangun akan disebarkan secara terus menerus hingga membentuk opini publik. Bauran dan benturan opini publik lah yang dikemas calon penguasa dalam memperbaharui alat peraga demi menjaga konsistensi bangunan opini politik rakyat.

Di lain sisi, strategi ini akan mengurangi secara kuantitas baliho dan spanduk. Jika selama ini calon penguasa mengupayakan sebaran baliho dan spanduk di setiap kejorongan. Bayangkan jumlah kejorongan di sumatera barat hampir mencapai 3.700 jorong. Asumsi setiap calon penguasa mencetak dan memasang 1 baliho ditamah 1 spanduk, maka akan ada 7.400 alat peraga.

Itu baru satu calon penguasa tingkat provinsi yang bermain-main dengan dananya. Mari kita hitung jika mencapai 5 kandidat atau pasangan gubernur dan wakil gubernur. Maka jumlahnya spanduk dan baliho sebanyak 37.000 alat peraga. Sekarang dengan penguatan DtD maupun SMLM, walaupun tidak bisa menghilangkan perang atribut calon penguasa setidaknya meniminalisir jumlah dan sebarannya.

Bisa jadi, calon penguasa cukup memasang baliho atau spanduk di tingkat kecamatan. Daerah dimanapun di indonesia membutuhkan pemimpin yang humanis, komunikatif, santun dan bersahaja serta dekat dengan rakyat dan terlihat dalam jangkauan pandangan. Rakyat butuh pemimpin dari kalangan rakyat bukan politisi spanduk atau pejabat baliho. (*)

Andrian Habibi - Koordinator Relawan Pemantau di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sumatera Barat