AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

IKPS Bulat Dukung MK-Fauzi

Masyarakat Pesisir Selatan Siap menyatukan dukungan untuk pasangan Muslim Kasim – Fauzi Bahar.

Dorong UNP Lahirkan Pemimpin Mumpuni

Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), bersama alumni UNP, Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Syamsu Rahim Dukung MK-Fauzi

Bukan hanya mendukung, tetapi Syamsu Rahim juga menerima amanat sebagai Ketua Tim Sukses Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Shadiq Pasadigoe Dukung MK-Fauzi

SP : Saya lebih suka melihat ke depan. Bagaimana membangun Sumbar lebih baik, membenahi kesejahteraan masyarakat dan memajukan nagari. Saya dan keluarga mendukung Pak Muslim dan Pak Fauzi untuk kemajuan Sumatera Barat.

Silaturahmi dengan Tokoh dan Perantau Minang

Muslim Kasim dan Fauzi Bahar Bersama tokoh dan perantau minang : Is Anwar, Azwar Anas, Fasli Djalal, Fahmi Idris dan Mulyadi.

Senin, 21 September 2015

Obrolan Lapau : Harun Zain diantara IP dan MK


“Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.” Tukilan sajak Taufik Ismail “Rindu pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta”, yang dilantangkan seorang kawan membuat saya merinding. Ingatan saya lekas tertarik pada insiden merabo-nya Mamak Sjahrul Udjud, Mantan Walikota Padang. Kalau orang biasa tentu tiada seketat ini ingatan saya. Tetapi karena ini Mamak Sjahrul, yang tidak hobby cari sensasi istilah orang zaman kini, serta berkenaan dengan tokoh pitua Minang yang sangat saya hormati, membuat ingatan saya tidak mau pupus.

Kisah merabo-nya Mamak Sjahrul adalah akibat keterlambatan Irwan Prayitno (IP), dalam acara Halal Bil Halal Pemprov Sumbar dan masyarakat Minang di Jakarta. IP selaku Gubernur Sumbar, bertindak sebagai pengundang.

Lazim memang seorang pejabat negara terlambat datang ke acara. Tetapi kali ini Mamak Sjahrul merabo. Pasalnya, keterlambatan itu membuat dua tokoh pitua Minang – mendiang Prof. Dr. Harun Zain dan Ir. Januar Muin - pulang dengan kecewa kendati acara belum dimulai. Padahal Harun Zain yang sudah sepuh, usia 85 tahun, datang tepat waktu karena kecintaannya pada Sumbar.

Orang Minang mana yang tidak kenal Harun Zain? Namanya harum nian di Sumbar. Beliau adalah Gubernur Sumbar periode 1966-1977 dan salah satu orang paling berjasa dalam meletakan pondasi pembangunan Sumbar. Jasa terbesarnya adalah penyanggah dan pembangkit martabat dan harga diri orang Minangkabau paska dihantam “kecelakaan sejarah” PRRI.

Sejarahwan Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Phil Gusti Asnan menggambar masa itu dengan ungkapan “Kala itu, masyarakat Sumbar tidak bisa tagak kapalo terhadap pemerintah pusat. Para politisi dan pewira militer tidak dipercaya lagi pemerintah Soekarno. Hal ini berdampak pada adat, budaya dan kesenian yang ikut hancur.”

Dan Mamak Sjahrul yang kesohor sangat santun pada para tokoh pitua Minang –termasuk Hasan Basri Durin dan Azwar Anas – pun me-rabo. “Saya tidak bisa menerima orang yang sudah berjasa mengangkat harkat dan martabat orang Minang diperlakukan seperti itu. Saya pribadi menuntut Gubernur Sumbar meminta maaf secara terbuka,” lantang orang dekat Wakil Presiden Jusuf Kalla ini.

Tidak jelas apakah IP telah meminta maaf kepada para tokoh pitua Minang secara terbuka atas kesilapan itu. Serupa itu pula ketidakjelasan di benak saya, mengapa IP absen pada serimoni pemberian gelar doktor honoris clausa Harun Zain dari Unand pada September 2010 silam. Penasaran saya kian menggeliat ketika menyitir kabar bahwa IP tidak hadir ketika Harun Zain wafat pada 19 Oktober 2014 silam.  

Tokoh-tokoh minang dari segala penjuru datang melayat. Sebut saja Irman Gusman, Musliar Kasim, Emil Salim, Azwar Anas, Awaluddin Djamin, Hasan Basri Durin, Muslim Kasim, Djohermansyah Djohan, Boy Rafli Amar, Sjahrul Udjud, Werry Darta Taifur, Basrizal Koto dan lainnya. Bahkan Jusuf Kalla, yang besok akan dilantik sebagai Wakil Presiden RI, bersama para pitua Minang tersebut, menyempatkan diri untuk hadir dan menshalati almarhum. Entah kemana IP saat itu. Barangkali IP punya alasan kuat yang belum ter-kaba di telinga saya.

Lain IP, lain pula pola Muslim Kasim (MK) dalam berinteraksi dengan Harun Zain. Karena menerima tempaan didikan surau dan olah Silek Minang, MK sangat menaruh hormat pada Harun Zain dan para tokoh pitua Minang lainnya. Apalagi selaku ketua LKAAM Padang Pariaman, MK tentu qatam jasa Harun Zain dalam menjaga dan mengembangkan budaya Minangkabau.

Gebu Minang merupakan organisasi yang dirintis oleh Harun Zein dalam rangka menghimpun potensi perantau untuk membangun kampung halaman. Serupa dengan gaya kepemimpinan Harun Zain yang bisa diterima semua kalangan, MK pun mempraktikan petatah “nan tuo dihormati, nan ketek disayangi, samo gadang baok bakawan.” Bukan cuma di kalangan elit, MK punya tradisi memenuhi undangan urang baralek kendati dihelat oleh kalangan rakyat badarai.

Selain itu, jika ditelisik ada beberapa kemiripan antara Harun Zain dan MK. Keduanya sama-sama urang piaman, dan pernah memimpin Padang Pariaman. Ketika menjadi Gubernur Sumbar, Harun Zain sempat rangkap jabatan sebagai Bupati Padang Pariaman ke 12 pada 1975. Sementara MK adalah Bupati Padang Pariaman ke 19 yang memerintah pada 2000-2010. Gelar keduanya pun rada-rada mirip – Harun Zain bergelar Datuk Sinaro dan MK bergelar Datuk Sinaro Basa.


Kemiripan dan kedekatan emosional ini yang secara alamiah membuat MK mendapat amanat selepas berpulangnya Harun Zain. Gelar Datuk Sinaro yang disandang mendiang diserahkan kepada sang kemenakan, Arman Adel Abdullah, dilewakan oleh MK.

Pilkada Sumbar dan Gubernur Sebelumnya


Dialog kreatif Buya Syafii Maarif dengan Irsyad Syafar di "Resonansi" Republika, Selasa (18/8), dan ruang opini Republika, Sabtu (22/8), menarik perhatian saya. Judul "Resonansi" Buya adalah, "Pilkada di Sumatra Barat 2015". Sementara judul tulisan Irsyad Syafar adalah "Pulanglah Buya". Rasanya, bahkan juga menarik perhatian kalangan tertentu di ranah ini khususnya dan umumnya semua pembaca Republika.

Buktinya, beberapa media sosial mengutip kedua wacana itu. Buya dengan bahasanya yang cerdas dan bernas, sementara Irsyad dengan bahasanya yang lirih dan juga terus terang. Keduanya enak untuk direnungkan, terutama bagi yang ingin Sumatra Barat lebih maju dalam Indonesia yang lebih cemerlang dan berperadaban.

Kata kunci yang dikutip Irsyad Syafar dari Buya adalah bahwa Sumbar dalam hal indeks kesejahteraan (Irsyad: kebahagiaan) terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB (Irsyad: NTT). Lalu, Irwan Prayitno dianggap lebih banyak mengurus kepentingan partainya daripada rakyat Sumbar. 

Sebagai orang yang tinggal di Sumbar, sepanjang pemahaman dan pengetahuan saya, apa yang dikemukakan Buya Syafii dan Irsyad Syafar, kedua-duanya mempunyai nilai kebenaran. Kalau dicermati, resonansi Buya bukan hanya kepada Irwan Prayitno yang dituju, tetapi juga kepada lawan bertandingnya di Pilkada Sumbar, dalam hal ini Muslim Kasim dan Fauzi Bahar.

Akan tetapi, terhadap Irwan Prayitno ada pembelaan datang dari Irsyad Syafar anggota DPRD dari Fraksi PKS. Sedangkan terhadap Musim Kasim dan Fauzi Bahar, tidak ada pembelaan. Padahal Irsyad Syafar kalau konsisten sebagai wakil rakyat, bukan lagi milik PKS sebagaimana dia mengatakan bahwa Irwan Prayitno bukan lagi milik PKS, tentu harus membela Muslim dan Fauzi juga.

Oh ya, Irwan Prayitno bukan pengurus PKS di Sumbar, tetapi anggota Majelis Syura pada tingkat nasional. Artinya, posisinya lebih menentukan dalam segala hal. Dan itu tidak berarti dia harus hari-hari ikut rapat atau hadir dalam acara-acara PKS tingkat wilayah, daerah, dan cabang lagi seperti yang disinggung Irsyad Syafar. Itu bukan maqamnya.

Lebih dari itu, ketika Irsyad Syafar membela Irwan Prayitno mengenai hasil survei BPS (2015) tentang indeks kebahagiaan tidak sama dengan kesejahteraan, dia menggiring kepada pendekatan subjektif dan kualitatif. Membedakan kebahagiaan dengan kesejahteraan tidak dengan angka-angka. Tetapi, ketika Irsyad Syafar mengemukakan kesuksesan Irwan Prayitno, yang dikemukakan adalah kuantitatif dengan persentase dan angka-angka.

Apa yang dikutip oleh Irsyad semuanya ada di dalam buku ukuran saku yang diterbitkan dan dicetak oleh PT Grafika Jaya Sumbar (milik Pemda Prov Sumbar) Januari 2015 dengan editor Yongki Salmeno teman Irwan Prayitno yang sehari-hari dekat dengannya. Buku kecil itu sebagai data dan fakta yang dibuat Irwan Prayitno seakan-akan pertanggungjawabannya selama memimpin Sumbar, tetapi bukan resmi dari pemerintah provinsi.

Isi buku dibuka dengan pendahuluan dan pujian seorang teman dan diakhiri dengan riwayat hidup Irwan Prayitno. Lalu isi di dalamnya ada dua hal. Pertama, 315 indikator kemajuan pembangunan Sumbar, yang kedua prestasi dan penghargaan sebanyak 194 butir. Lalu ada dua ilustrasi gambar tentang pembangunan jalan Padang By Pass yang mulus kalau nanti sudah jadi (sekarang belum selesai). 

Maka, Irsyad Syafar mengutip sebagian kecil dari 315 indikator tadi. Begitu pula soal apa yang dinamakan penghargaan dan prestasi juga dikutip oleh Irsyad dari 194 tadi. Maka di dalam pikiran saya, semua gubernur yang akan mengakhiri masa jabatannya membuat laporan seperti itu.

Akan tetapi, ada yang mengusik pikiran saya ketika Irsyad Syafar mengatakan "prestasi yang dicapai Irwan selama lima tahun memimpin Sumbar adalah fakta yang tak terbantahkan, belum pernah dicapai gubernur-gubernur sebelumnya".

Lalu, Irsyad Syafar menerangkan yang dimaksudnya, kembali ke buku Irwan Prayitno soal LKPJ, WTP dari BPK, pemuda pelopor, tour sepeda, penyaluran dana BOS, rehab-rekon pascabencana, dan seterusnya.

Irsyad lupa menyentuh soal pariwisata yang belum optimal. Perolehan prestasi pendidikan yang juga belum pada deretan papan atas di tingkat nasional. Padang, ibu kota provinsi dan gerbang Sumbar, mestinya menjadi wilayah binaan dan pengawasan utama oleh gubernur, tetapi belum bersih seperti zaman Syahrul Udjud menjabat wali kota. Ada gelagat, semua yang baik diklaim dan semua yang kurang belum disebut.

Orang rantau yang gelisah karena komuniksi yang terputus. Investor gamang masuk ke Sumbar antara lain karena soal lahan. Banyak MoU dengan calon investor yang tak ada realisasinya. Gamangnya beberapa pihak terhadap investor luar yang dianggap punya misi lain dan seterusnya.

Lalu amnesia pula menyebut bahwa semua pembangunan yang monumental seperti Masjid Raya, Kelok Sembilan, Jalan Raya Sicincin-Malalak, dan lainnya adalah kelanjutan dari pekerjaan gubernur-gubernur sebelumnya. Bahwa sampai sekarang macet berat mulai dari Koto Baru ke Bukittinggi belum teratasi dan bila musim libur atau Lebaran datang dari Padang ke Payakumbuh yang 110 kilometer itu ditempuh 9 jam.

Hotel Balairung Minang berlantai 13 di Matraman Jakarta dibangun oleh gubernur sebelumnya. Pembangunan kembali Istano Basa yang terbakar 2006 dibangun oleh gubernur sebelumnya. Beasiswa dari pemda untuk melanjutkan sekolah dalam dan luar negeri dan pembangun asrama mahasiswa Minang empat lantai di Kairo, Mesir, oleh gubernur sebelumnya. Semua perguruan tinggi di Sumbar mendapat bantuan untuk beasiswa dosen ke S-2 dan S-3 waktu itu.

Saya khawatir pembaca tersinggung ketika membandingkan Irwan Prayitno dengan Gamawan Fauzi, Zainal Bakar, Hasan Basri Durin, Azwar Anas, dan Harun Zain, semuanya gubernur-gubernur sebelumnya. Padahal, di zaman gubernur sebelumnya, prestasi monumental penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sudah diukir. Antara lain, penghargaan tertinggi Samkarya Nugraha Parasamya Purna Karya Nugraha di zaman Gubernur Azwar Anas dan Hasan Basri Durin.

Untuk tahun 2014 diterima oleh gubernur Jawa Tengah pada peringatan Hari Otonomi Derah ke-18 di Istana Negara Jakarta, diserahkan oleh Presiden SBY, Jumat (25/4/14). Parasamya paling baru diserahkan Presiden Jokowi 27 April 2015 di istana. Tiga besar penerima Parasamya itu Jatim, Jateng, dan DIY.

Ukurannya jelas bukan hal-hal yang rutin seperti yang disebutkan oleh Irsyad di atas yang hal itu siapa pun gubernurnya akan melakukan. Menurut Prof Dr Djohermansyah Djohan, mantan dirjen otoda Kementerian Dalam Negeri, pada lima tahun terakhir penilaian untuk anugerah luar biasa tadi itu terus dilakukan. Namun, Sumbar belum memperoleh prestasi angka satu atau bahkan belum pada tiga besar. Sumbar baru pada peringkat nomor 20 dari 34 provinsi di Indonesia.

Variabel yang menentukan, di antaranya, indeks perolehan kinerja dalam EKPPD (Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah). Paling pokok tiga aspek. Wilayah inisiator dan penentu kebijakan. Penilaian berlaku terhadap kinerja kepala daerah dan DPRD.

Tataran pelaksana kebijakan, di antaranya, penilaian terhadap kinerja 47 SKPD. Begitu pula penilaian dan capaian urusan pemerintah, yaitu penilaian perolehan kinerja 26 urusan wajib dan delapan urusan pilihan. Hal lain yang pokok lagi penilaian terhadap indeks kesesuaian materi antara LPPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007.

Di atas segalanya itu, saya menangkap apa yang dirisaukan oleh Buya adalah pada tataran monumental tersebut di atas tadi. Itu pula yang diinginkan Buya bahwa gubernur Sumbar mendatang adalah "petarung sejati", bukan yang biasa-biasa saja. Sekadar tambahan, meski zaman Orde Baru sudah tinggal kenangan, zaman Rudini sebagai mendagri (1988-1993) dulu, kepala daerah yang dapat Parasamya saja yang boleh maju untuk pemilihan periode kedua.

Akhirnya, di balik itu semua, apa yang menjadi wacana Irsyad Syafar sangatlah saya hargai karena bagaimanapun telah memberikan penjelasan terhadap resonansi Buya sehingga ada perbandingan pemikiran. Begitu pula tulisan saya ini dimaksudkan untuk mengasah pikiran, bukan menolak dan meniadakan. Allah Yang Mahatahu. n

Shofwan Karim
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang
sumber

Minggu, 20 September 2015

Pulanglah Buya (Tanggapan terhadap Tulisan Syafii Maarif)


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Membaca resonansi Republika18 agustus 2015 yang ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, saya menjadi tergerak untuk ikut sedikit berbagi pikiran tentang Sumatra Barat. Bagi saya, Buya Syafii Maarif tak saja sekadar ulama, tetapi juga guru bangsa, yang tentu juga guru saya.


Beliau salah satu dari sedikit orang yang saya kagumi di negeri ini. Saya lumayan kenal beliau karena beliau adalah tetangga kami di pesantren yang saya pimpin di pinggiran Kota Padang. Beliau seorang yang taat, alim, dan juga tawadhu. Beliau pernah beberapa kali mampir ke pondok saya, shalat berjamaah bersama kami, para guru dan santri.

Kadang, beliau hadir shalat Jumat, duduk dengan diam di salah satu saf bersama anak- anak. Banyak guru dan karyawan yang tidak kenal beliau, apalagi santri. Karena beliau datang dengan berjalan kaki dan tak ada atribut atau pendamping khusus. Suatu hari, habis shalat Jumat, turun hujan agak deras. Saya tawarkan beliau untuk saya antar dengan Kijang Super saya. Dengan senang hati beliau mau naik mobil tua saya.

Di balik penghormatan dan kekaguman saya kepada Buya, tentunya saya juga tak menutup diri untuk memberikan catatan atas "Resonansi" beliau Selasa lalu. Apalagi, saya menangkap kesimpulan Buya tentang kepemimpinan di Sumbar yang kesannya telah mengalami gagal total, kurang didukung oleh data yang valid dan realitas yang ada.

Buya menuliskan, "Petahana Irwan, kelahiran Yogyakarta 20 Desember 1963, selama lima tahun menjadi gubernur menyisakan fakta ini: dari sisi tingkat kesejahteraan masyarakat, Sumbar terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB...." (dalam tulisan Buya, NTB. Dalam laporan BPS adalah NTT). Ini kalimat yang bom bastis. Menunjukkan masyarakat Sumbar sudah berada pada level terendah rakyat Indonesia dan jauh dari kesejahteraan sebelumnya.

Saya berkeyakinan kuat kesimpulan Buya itu berangkat dari hasil survei BPS (2015) tentang indeks kebahagiaan masyarakat Sumbar. BPS menyatakan, indeks kebahagiaan masyarakat Sumbardi urutan tiga terbawah setelah Papua dan NTT. Namun, pihak BPS memberikan penjelasan soal indeks ini. Kabid statistik sosial BPS Sumbar Satriono menyatakan, kebahagiaan adalah hal yang dirasakan dan dipersepsikan secara berbeda oleh setiap orang. Karena itu, pengukuran kebahagiaan merupakan hal yang subjektif.

Jadi, survei itu menyatakan masyarakat merasa kurang bahagia, bukan tidak sejahtera. Dan, ini subjektif sesuai cara pandang setiap orang ten tang makna bahagia. Bisa jadi dua orang berpenghasilan sama, tapi salah satunya merasakan tak bahagia. Karena, masing-masing punya standar kebahagiaan berbeda. Sebab, kebahagiaan lebih berhubungan dengan rasa, tapi wujudnya tak terlihat.

Kalau kita ingin melihat kesejahteraan rakyat Sumbar secara ukuran data valid, tentu sangat banyak variabel yang harus digunakan, di samping realitas secara kasat mata. Di antara yang bisa digunakan sebagai ukuran kesejahteraan umum adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka produk domestik regional bruto (PDRB), pemerataan ekonomi yang tergambar dari penurunan penduduk miskin, dan tingkat pengangguran serta ukuran lainnya.

Dari data resmi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kondisi kesejahteraan sosial menunjukkan bahwa IPM Sumbar pa da 2013 sebesar 75,01, meningkat dibanding 2012 yang 74,70, tapi tetap menempati peringkat sembilan secara nasional. Sementara, PDRB Sumbar mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. PDRB 2011 sebesar Rp 98,96 triliun, menjadi Rp 110,10 triliun. Pertumbuhan PDRB pada 2014 adalah 6,5 persen di atas pertumbuhan nasional yang hanya 5,21 persen. Sumbar berada pada peringkat ke-13 nasional.

Adapun tingkat kemiskinan masyarakat Sumbar, dalam data resmi Pemprov Sumbar, telah mengalami penurunan drastis sejak 2010. Padahal, Sumbar baru saja dihantam gempa dua kali, pada 2007 dan 2009. Terutama gempa 2009 yang sangat mengganggu perekonomian Sumbar.

Angka kemiskinan pada 2010 adalah 9,50 persen. Kemudian pada 2011, turun ke 8,99 persen, dan 2012 turun ke 8,00 persen, serta tahun 2013 menjadi 7,56 persen, lalu terakhir pada 2014 berada di 7,41 persen. Jauh lebih baik dari rata-rata nasional yang 11,25 persen pada 2014. Begitu juga angka pengangguran Sumbar, turun dari 7,97 persen pada 2009 menjadi 6,50 persen pada 2014, dan turun ke 5,99 persen pada 2015 ini. Atau, sedikit di atas rata-rata nasional yang 5,7 persen.

Di samping itu, prestasi yang dicapai Irwan selama lima tahun memimpin Sumbar adalah fakta yang tak terbantahkan, belum pernah tercapai oleh gubernur-gubernur sebelumnya. LKPJ beliau mendapatkan opini WTP dari BPK RI dalam tiga tahun terakhir. Padahal, beliau menerima tampuk pemerintahan dari gubernur sebelumnya dengan status disclaimer.

Kemudian, setahun setelah itu naik ke WDP. Dan, ditutup dengan dua kali WTP murni untuk 2013 dan 2014. Sumbar meraih peringkat satu pelaksanaan rehab-rekon pascabencana (2011), juara satu tanggap darurat (2011), juara satu nasional pasar desa/nagari (2012), penyalur dana BOS tercepat (2012), peringkat II nasional penanaman 1 miliar pohon (2012), pembina bank daerah terbaik (2012), provinsi terbaik manajemen KB se- Indonesia (2013), provinsi terbaik pengelolaan pesisir dan pulau kecil (2013), peringkat lima dunia penyelenggaraan Tour Sepeda (2013), juara satu nasional Pemuda Pelopor (2013), penghargaan Kementerian PU atas pembangunan jalan nasional dan jalan provinsi di Sumbar (2014), dan lebih dari 100 penghargaan lainnya di berbagai bidang, semuanya kar ya Irwan bersama wagub dan pemerintah provinsi yang dipimpinnya.

Kemudian, Buya menyatakan, "Sebagai seorang tokoh PKS, Irwan dianggap lebih banyak mengurus kepentingan partainya daripada rakyat Sumbar." Pernyataan Buya ini juga terasa kurang valid.

Sejak menjadi gubernur, Irwan langsung melepaskan jabatan strukturalnya di PKS. Berbeda dengan banyak kepala daerah yang justru menjadi pimpinan atau pengurus partai secara aktif. Beliau tidak menjabat lagi di DPP PKS, apalagi di DPW.

Kemudian, hari-harinya habis untuk rakyat Sumbar. Satu hari kadang beliau hanya tidur tiga sampai empat jam saja. Tidak pernah mengambil cuti, dan hari Sabtu Ahad tetap bekerja. Dalam setahun, puluhan nagari dan ratusan desa yang beliau kunjungi. Daerah-daerah terisolasi dan tertinggal, beliau datangi walaupun harus naik sepeda motor atau naik perahu.

Sangat banyak desa yang belum pernah satu pun gubernur sepanjang sejarah Sumbar datang ke sana, tapi Irwan sampai ke sana. Hadir secara fisik dan juga membawa program pembangunan. Justru banyak pengurus DPD dan DPC PKS yang kecewa dengan Irwan karena sejak menjadi gubernur, beliau tidak mudah untuk diajak ke acara-acara partai.

Irwan rela mendahulukan perbaikan rumah masyarakat dan gedung pemerintahan yang hancur karena gempa 2009 daripada memperbaiki kantornya sendiri. Bahkan, sampai akhir jabatannya, beliau berkantor di rumah dinasnya. Menjelang jabatannya berakhir, semua dinas provinsi menempati gedung baru atau sudah direnovasi.

Terakhir, saya sangat menghormati dan juga mencintai Buya. Beliau begitu peduli dan cinta dengan Sumbar. Barangkali karena itulah beliau menuliskan keresahannya tentang Sumbar dan berharap Sumbar kedepan lebih baik lagi.

Kami menunggu Buya pulang kekampung halaman, memberikan pencerahan kepada kami yang masih terus belajar. Dan, kiranya Buya sudi mampir di Pondok Ar Risalah karena Buya beberapa tahun yang lalu telah menjual rumahnya yang di samping pondok kami.

IRSYAD SYAFAR
Anggota DPRD Sumbar Periode 2014-2019

sumber