AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

IKPS Bulat Dukung MK-Fauzi

Masyarakat Pesisir Selatan Siap menyatukan dukungan untuk pasangan Muslim Kasim – Fauzi Bahar.

Dorong UNP Lahirkan Pemimpin Mumpuni

Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), bersama alumni UNP, Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Syamsu Rahim Dukung MK-Fauzi

Bukan hanya mendukung, tetapi Syamsu Rahim juga menerima amanat sebagai Ketua Tim Sukses Muslim Kasim - Fauzi Bahar.

Shadiq Pasadigoe Dukung MK-Fauzi

SP : Saya lebih suka melihat ke depan. Bagaimana membangun Sumbar lebih baik, membenahi kesejahteraan masyarakat dan memajukan nagari. Saya dan keluarga mendukung Pak Muslim dan Pak Fauzi untuk kemajuan Sumatera Barat.

Silaturahmi dengan Tokoh dan Perantau Minang

Muslim Kasim dan Fauzi Bahar Bersama tokoh dan perantau minang : Is Anwar, Azwar Anas, Fasli Djalal, Fahmi Idris dan Mulyadi.

Senin, 21 September 2015

Obrolan Lapau : Harun Zain diantara IP dan MK


“Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.” Tukilan sajak Taufik Ismail “Rindu pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta”, yang dilantangkan seorang kawan membuat saya merinding. Ingatan saya lekas tertarik pada insiden merabo-nya Mamak Sjahrul Udjud, Mantan Walikota Padang. Kalau orang biasa tentu tiada seketat ini ingatan saya. Tetapi karena ini Mamak Sjahrul, yang tidak hobby cari sensasi istilah orang zaman kini, serta berkenaan dengan tokoh pitua Minang yang sangat saya hormati, membuat ingatan saya tidak mau pupus.

Kisah merabo-nya Mamak Sjahrul adalah akibat keterlambatan Irwan Prayitno (IP), dalam acara Halal Bil Halal Pemprov Sumbar dan masyarakat Minang di Jakarta. IP selaku Gubernur Sumbar, bertindak sebagai pengundang.

Lazim memang seorang pejabat negara terlambat datang ke acara. Tetapi kali ini Mamak Sjahrul merabo. Pasalnya, keterlambatan itu membuat dua tokoh pitua Minang – mendiang Prof. Dr. Harun Zain dan Ir. Januar Muin - pulang dengan kecewa kendati acara belum dimulai. Padahal Harun Zain yang sudah sepuh, usia 85 tahun, datang tepat waktu karena kecintaannya pada Sumbar.

Orang Minang mana yang tidak kenal Harun Zain? Namanya harum nian di Sumbar. Beliau adalah Gubernur Sumbar periode 1966-1977 dan salah satu orang paling berjasa dalam meletakan pondasi pembangunan Sumbar. Jasa terbesarnya adalah penyanggah dan pembangkit martabat dan harga diri orang Minangkabau paska dihantam “kecelakaan sejarah” PRRI.

Sejarahwan Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Phil Gusti Asnan menggambar masa itu dengan ungkapan “Kala itu, masyarakat Sumbar tidak bisa tagak kapalo terhadap pemerintah pusat. Para politisi dan pewira militer tidak dipercaya lagi pemerintah Soekarno. Hal ini berdampak pada adat, budaya dan kesenian yang ikut hancur.”

Dan Mamak Sjahrul yang kesohor sangat santun pada para tokoh pitua Minang –termasuk Hasan Basri Durin dan Azwar Anas – pun me-rabo. “Saya tidak bisa menerima orang yang sudah berjasa mengangkat harkat dan martabat orang Minang diperlakukan seperti itu. Saya pribadi menuntut Gubernur Sumbar meminta maaf secara terbuka,” lantang orang dekat Wakil Presiden Jusuf Kalla ini.

Tidak jelas apakah IP telah meminta maaf kepada para tokoh pitua Minang secara terbuka atas kesilapan itu. Serupa itu pula ketidakjelasan di benak saya, mengapa IP absen pada serimoni pemberian gelar doktor honoris clausa Harun Zain dari Unand pada September 2010 silam. Penasaran saya kian menggeliat ketika menyitir kabar bahwa IP tidak hadir ketika Harun Zain wafat pada 19 Oktober 2014 silam.  

Tokoh-tokoh minang dari segala penjuru datang melayat. Sebut saja Irman Gusman, Musliar Kasim, Emil Salim, Azwar Anas, Awaluddin Djamin, Hasan Basri Durin, Muslim Kasim, Djohermansyah Djohan, Boy Rafli Amar, Sjahrul Udjud, Werry Darta Taifur, Basrizal Koto dan lainnya. Bahkan Jusuf Kalla, yang besok akan dilantik sebagai Wakil Presiden RI, bersama para pitua Minang tersebut, menyempatkan diri untuk hadir dan menshalati almarhum. Entah kemana IP saat itu. Barangkali IP punya alasan kuat yang belum ter-kaba di telinga saya.

Lain IP, lain pula pola Muslim Kasim (MK) dalam berinteraksi dengan Harun Zain. Karena menerima tempaan didikan surau dan olah Silek Minang, MK sangat menaruh hormat pada Harun Zain dan para tokoh pitua Minang lainnya. Apalagi selaku ketua LKAAM Padang Pariaman, MK tentu qatam jasa Harun Zain dalam menjaga dan mengembangkan budaya Minangkabau.

Gebu Minang merupakan organisasi yang dirintis oleh Harun Zein dalam rangka menghimpun potensi perantau untuk membangun kampung halaman. Serupa dengan gaya kepemimpinan Harun Zain yang bisa diterima semua kalangan, MK pun mempraktikan petatah “nan tuo dihormati, nan ketek disayangi, samo gadang baok bakawan.” Bukan cuma di kalangan elit, MK punya tradisi memenuhi undangan urang baralek kendati dihelat oleh kalangan rakyat badarai.

Selain itu, jika ditelisik ada beberapa kemiripan antara Harun Zain dan MK. Keduanya sama-sama urang piaman, dan pernah memimpin Padang Pariaman. Ketika menjadi Gubernur Sumbar, Harun Zain sempat rangkap jabatan sebagai Bupati Padang Pariaman ke 12 pada 1975. Sementara MK adalah Bupati Padang Pariaman ke 19 yang memerintah pada 2000-2010. Gelar keduanya pun rada-rada mirip – Harun Zain bergelar Datuk Sinaro dan MK bergelar Datuk Sinaro Basa.


Kemiripan dan kedekatan emosional ini yang secara alamiah membuat MK mendapat amanat selepas berpulangnya Harun Zain. Gelar Datuk Sinaro yang disandang mendiang diserahkan kepada sang kemenakan, Arman Adel Abdullah, dilewakan oleh MK.

Pilkada Sumbar dan Gubernur Sebelumnya


Dialog kreatif Buya Syafii Maarif dengan Irsyad Syafar di "Resonansi" Republika, Selasa (18/8), dan ruang opini Republika, Sabtu (22/8), menarik perhatian saya. Judul "Resonansi" Buya adalah, "Pilkada di Sumatra Barat 2015". Sementara judul tulisan Irsyad Syafar adalah "Pulanglah Buya". Rasanya, bahkan juga menarik perhatian kalangan tertentu di ranah ini khususnya dan umumnya semua pembaca Republika.

Buktinya, beberapa media sosial mengutip kedua wacana itu. Buya dengan bahasanya yang cerdas dan bernas, sementara Irsyad dengan bahasanya yang lirih dan juga terus terang. Keduanya enak untuk direnungkan, terutama bagi yang ingin Sumatra Barat lebih maju dalam Indonesia yang lebih cemerlang dan berperadaban.

Kata kunci yang dikutip Irsyad Syafar dari Buya adalah bahwa Sumbar dalam hal indeks kesejahteraan (Irsyad: kebahagiaan) terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB (Irsyad: NTT). Lalu, Irwan Prayitno dianggap lebih banyak mengurus kepentingan partainya daripada rakyat Sumbar. 

Sebagai orang yang tinggal di Sumbar, sepanjang pemahaman dan pengetahuan saya, apa yang dikemukakan Buya Syafii dan Irsyad Syafar, kedua-duanya mempunyai nilai kebenaran. Kalau dicermati, resonansi Buya bukan hanya kepada Irwan Prayitno yang dituju, tetapi juga kepada lawan bertandingnya di Pilkada Sumbar, dalam hal ini Muslim Kasim dan Fauzi Bahar.

Akan tetapi, terhadap Irwan Prayitno ada pembelaan datang dari Irsyad Syafar anggota DPRD dari Fraksi PKS. Sedangkan terhadap Musim Kasim dan Fauzi Bahar, tidak ada pembelaan. Padahal Irsyad Syafar kalau konsisten sebagai wakil rakyat, bukan lagi milik PKS sebagaimana dia mengatakan bahwa Irwan Prayitno bukan lagi milik PKS, tentu harus membela Muslim dan Fauzi juga.

Oh ya, Irwan Prayitno bukan pengurus PKS di Sumbar, tetapi anggota Majelis Syura pada tingkat nasional. Artinya, posisinya lebih menentukan dalam segala hal. Dan itu tidak berarti dia harus hari-hari ikut rapat atau hadir dalam acara-acara PKS tingkat wilayah, daerah, dan cabang lagi seperti yang disinggung Irsyad Syafar. Itu bukan maqamnya.

Lebih dari itu, ketika Irsyad Syafar membela Irwan Prayitno mengenai hasil survei BPS (2015) tentang indeks kebahagiaan tidak sama dengan kesejahteraan, dia menggiring kepada pendekatan subjektif dan kualitatif. Membedakan kebahagiaan dengan kesejahteraan tidak dengan angka-angka. Tetapi, ketika Irsyad Syafar mengemukakan kesuksesan Irwan Prayitno, yang dikemukakan adalah kuantitatif dengan persentase dan angka-angka.

Apa yang dikutip oleh Irsyad semuanya ada di dalam buku ukuran saku yang diterbitkan dan dicetak oleh PT Grafika Jaya Sumbar (milik Pemda Prov Sumbar) Januari 2015 dengan editor Yongki Salmeno teman Irwan Prayitno yang sehari-hari dekat dengannya. Buku kecil itu sebagai data dan fakta yang dibuat Irwan Prayitno seakan-akan pertanggungjawabannya selama memimpin Sumbar, tetapi bukan resmi dari pemerintah provinsi.

Isi buku dibuka dengan pendahuluan dan pujian seorang teman dan diakhiri dengan riwayat hidup Irwan Prayitno. Lalu isi di dalamnya ada dua hal. Pertama, 315 indikator kemajuan pembangunan Sumbar, yang kedua prestasi dan penghargaan sebanyak 194 butir. Lalu ada dua ilustrasi gambar tentang pembangunan jalan Padang By Pass yang mulus kalau nanti sudah jadi (sekarang belum selesai). 

Maka, Irsyad Syafar mengutip sebagian kecil dari 315 indikator tadi. Begitu pula soal apa yang dinamakan penghargaan dan prestasi juga dikutip oleh Irsyad dari 194 tadi. Maka di dalam pikiran saya, semua gubernur yang akan mengakhiri masa jabatannya membuat laporan seperti itu.

Akan tetapi, ada yang mengusik pikiran saya ketika Irsyad Syafar mengatakan "prestasi yang dicapai Irwan selama lima tahun memimpin Sumbar adalah fakta yang tak terbantahkan, belum pernah dicapai gubernur-gubernur sebelumnya".

Lalu, Irsyad Syafar menerangkan yang dimaksudnya, kembali ke buku Irwan Prayitno soal LKPJ, WTP dari BPK, pemuda pelopor, tour sepeda, penyaluran dana BOS, rehab-rekon pascabencana, dan seterusnya.

Irsyad lupa menyentuh soal pariwisata yang belum optimal. Perolehan prestasi pendidikan yang juga belum pada deretan papan atas di tingkat nasional. Padang, ibu kota provinsi dan gerbang Sumbar, mestinya menjadi wilayah binaan dan pengawasan utama oleh gubernur, tetapi belum bersih seperti zaman Syahrul Udjud menjabat wali kota. Ada gelagat, semua yang baik diklaim dan semua yang kurang belum disebut.

Orang rantau yang gelisah karena komuniksi yang terputus. Investor gamang masuk ke Sumbar antara lain karena soal lahan. Banyak MoU dengan calon investor yang tak ada realisasinya. Gamangnya beberapa pihak terhadap investor luar yang dianggap punya misi lain dan seterusnya.

Lalu amnesia pula menyebut bahwa semua pembangunan yang monumental seperti Masjid Raya, Kelok Sembilan, Jalan Raya Sicincin-Malalak, dan lainnya adalah kelanjutan dari pekerjaan gubernur-gubernur sebelumnya. Bahwa sampai sekarang macet berat mulai dari Koto Baru ke Bukittinggi belum teratasi dan bila musim libur atau Lebaran datang dari Padang ke Payakumbuh yang 110 kilometer itu ditempuh 9 jam.

Hotel Balairung Minang berlantai 13 di Matraman Jakarta dibangun oleh gubernur sebelumnya. Pembangunan kembali Istano Basa yang terbakar 2006 dibangun oleh gubernur sebelumnya. Beasiswa dari pemda untuk melanjutkan sekolah dalam dan luar negeri dan pembangun asrama mahasiswa Minang empat lantai di Kairo, Mesir, oleh gubernur sebelumnya. Semua perguruan tinggi di Sumbar mendapat bantuan untuk beasiswa dosen ke S-2 dan S-3 waktu itu.

Saya khawatir pembaca tersinggung ketika membandingkan Irwan Prayitno dengan Gamawan Fauzi, Zainal Bakar, Hasan Basri Durin, Azwar Anas, dan Harun Zain, semuanya gubernur-gubernur sebelumnya. Padahal, di zaman gubernur sebelumnya, prestasi monumental penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sudah diukir. Antara lain, penghargaan tertinggi Samkarya Nugraha Parasamya Purna Karya Nugraha di zaman Gubernur Azwar Anas dan Hasan Basri Durin.

Untuk tahun 2014 diterima oleh gubernur Jawa Tengah pada peringatan Hari Otonomi Derah ke-18 di Istana Negara Jakarta, diserahkan oleh Presiden SBY, Jumat (25/4/14). Parasamya paling baru diserahkan Presiden Jokowi 27 April 2015 di istana. Tiga besar penerima Parasamya itu Jatim, Jateng, dan DIY.

Ukurannya jelas bukan hal-hal yang rutin seperti yang disebutkan oleh Irsyad di atas yang hal itu siapa pun gubernurnya akan melakukan. Menurut Prof Dr Djohermansyah Djohan, mantan dirjen otoda Kementerian Dalam Negeri, pada lima tahun terakhir penilaian untuk anugerah luar biasa tadi itu terus dilakukan. Namun, Sumbar belum memperoleh prestasi angka satu atau bahkan belum pada tiga besar. Sumbar baru pada peringkat nomor 20 dari 34 provinsi di Indonesia.

Variabel yang menentukan, di antaranya, indeks perolehan kinerja dalam EKPPD (Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah). Paling pokok tiga aspek. Wilayah inisiator dan penentu kebijakan. Penilaian berlaku terhadap kinerja kepala daerah dan DPRD.

Tataran pelaksana kebijakan, di antaranya, penilaian terhadap kinerja 47 SKPD. Begitu pula penilaian dan capaian urusan pemerintah, yaitu penilaian perolehan kinerja 26 urusan wajib dan delapan urusan pilihan. Hal lain yang pokok lagi penilaian terhadap indeks kesesuaian materi antara LPPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007.

Di atas segalanya itu, saya menangkap apa yang dirisaukan oleh Buya adalah pada tataran monumental tersebut di atas tadi. Itu pula yang diinginkan Buya bahwa gubernur Sumbar mendatang adalah "petarung sejati", bukan yang biasa-biasa saja. Sekadar tambahan, meski zaman Orde Baru sudah tinggal kenangan, zaman Rudini sebagai mendagri (1988-1993) dulu, kepala daerah yang dapat Parasamya saja yang boleh maju untuk pemilihan periode kedua.

Akhirnya, di balik itu semua, apa yang menjadi wacana Irsyad Syafar sangatlah saya hargai karena bagaimanapun telah memberikan penjelasan terhadap resonansi Buya sehingga ada perbandingan pemikiran. Begitu pula tulisan saya ini dimaksudkan untuk mengasah pikiran, bukan menolak dan meniadakan. Allah Yang Mahatahu. n

Shofwan Karim
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang
sumber

Minggu, 20 September 2015

Pulanglah Buya (Tanggapan terhadap Tulisan Syafii Maarif)


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Membaca resonansi Republika18 agustus 2015 yang ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, saya menjadi tergerak untuk ikut sedikit berbagi pikiran tentang Sumatra Barat. Bagi saya, Buya Syafii Maarif tak saja sekadar ulama, tetapi juga guru bangsa, yang tentu juga guru saya.


Beliau salah satu dari sedikit orang yang saya kagumi di negeri ini. Saya lumayan kenal beliau karena beliau adalah tetangga kami di pesantren yang saya pimpin di pinggiran Kota Padang. Beliau seorang yang taat, alim, dan juga tawadhu. Beliau pernah beberapa kali mampir ke pondok saya, shalat berjamaah bersama kami, para guru dan santri.

Kadang, beliau hadir shalat Jumat, duduk dengan diam di salah satu saf bersama anak- anak. Banyak guru dan karyawan yang tidak kenal beliau, apalagi santri. Karena beliau datang dengan berjalan kaki dan tak ada atribut atau pendamping khusus. Suatu hari, habis shalat Jumat, turun hujan agak deras. Saya tawarkan beliau untuk saya antar dengan Kijang Super saya. Dengan senang hati beliau mau naik mobil tua saya.

Di balik penghormatan dan kekaguman saya kepada Buya, tentunya saya juga tak menutup diri untuk memberikan catatan atas "Resonansi" beliau Selasa lalu. Apalagi, saya menangkap kesimpulan Buya tentang kepemimpinan di Sumbar yang kesannya telah mengalami gagal total, kurang didukung oleh data yang valid dan realitas yang ada.

Buya menuliskan, "Petahana Irwan, kelahiran Yogyakarta 20 Desember 1963, selama lima tahun menjadi gubernur menyisakan fakta ini: dari sisi tingkat kesejahteraan masyarakat, Sumbar terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB...." (dalam tulisan Buya, NTB. Dalam laporan BPS adalah NTT). Ini kalimat yang bom bastis. Menunjukkan masyarakat Sumbar sudah berada pada level terendah rakyat Indonesia dan jauh dari kesejahteraan sebelumnya.

Saya berkeyakinan kuat kesimpulan Buya itu berangkat dari hasil survei BPS (2015) tentang indeks kebahagiaan masyarakat Sumbar. BPS menyatakan, indeks kebahagiaan masyarakat Sumbardi urutan tiga terbawah setelah Papua dan NTT. Namun, pihak BPS memberikan penjelasan soal indeks ini. Kabid statistik sosial BPS Sumbar Satriono menyatakan, kebahagiaan adalah hal yang dirasakan dan dipersepsikan secara berbeda oleh setiap orang. Karena itu, pengukuran kebahagiaan merupakan hal yang subjektif.

Jadi, survei itu menyatakan masyarakat merasa kurang bahagia, bukan tidak sejahtera. Dan, ini subjektif sesuai cara pandang setiap orang ten tang makna bahagia. Bisa jadi dua orang berpenghasilan sama, tapi salah satunya merasakan tak bahagia. Karena, masing-masing punya standar kebahagiaan berbeda. Sebab, kebahagiaan lebih berhubungan dengan rasa, tapi wujudnya tak terlihat.

Kalau kita ingin melihat kesejahteraan rakyat Sumbar secara ukuran data valid, tentu sangat banyak variabel yang harus digunakan, di samping realitas secara kasat mata. Di antara yang bisa digunakan sebagai ukuran kesejahteraan umum adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka produk domestik regional bruto (PDRB), pemerataan ekonomi yang tergambar dari penurunan penduduk miskin, dan tingkat pengangguran serta ukuran lainnya.

Dari data resmi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kondisi kesejahteraan sosial menunjukkan bahwa IPM Sumbar pa da 2013 sebesar 75,01, meningkat dibanding 2012 yang 74,70, tapi tetap menempati peringkat sembilan secara nasional. Sementara, PDRB Sumbar mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. PDRB 2011 sebesar Rp 98,96 triliun, menjadi Rp 110,10 triliun. Pertumbuhan PDRB pada 2014 adalah 6,5 persen di atas pertumbuhan nasional yang hanya 5,21 persen. Sumbar berada pada peringkat ke-13 nasional.

Adapun tingkat kemiskinan masyarakat Sumbar, dalam data resmi Pemprov Sumbar, telah mengalami penurunan drastis sejak 2010. Padahal, Sumbar baru saja dihantam gempa dua kali, pada 2007 dan 2009. Terutama gempa 2009 yang sangat mengganggu perekonomian Sumbar.

Angka kemiskinan pada 2010 adalah 9,50 persen. Kemudian pada 2011, turun ke 8,99 persen, dan 2012 turun ke 8,00 persen, serta tahun 2013 menjadi 7,56 persen, lalu terakhir pada 2014 berada di 7,41 persen. Jauh lebih baik dari rata-rata nasional yang 11,25 persen pada 2014. Begitu juga angka pengangguran Sumbar, turun dari 7,97 persen pada 2009 menjadi 6,50 persen pada 2014, dan turun ke 5,99 persen pada 2015 ini. Atau, sedikit di atas rata-rata nasional yang 5,7 persen.

Di samping itu, prestasi yang dicapai Irwan selama lima tahun memimpin Sumbar adalah fakta yang tak terbantahkan, belum pernah tercapai oleh gubernur-gubernur sebelumnya. LKPJ beliau mendapatkan opini WTP dari BPK RI dalam tiga tahun terakhir. Padahal, beliau menerima tampuk pemerintahan dari gubernur sebelumnya dengan status disclaimer.

Kemudian, setahun setelah itu naik ke WDP. Dan, ditutup dengan dua kali WTP murni untuk 2013 dan 2014. Sumbar meraih peringkat satu pelaksanaan rehab-rekon pascabencana (2011), juara satu tanggap darurat (2011), juara satu nasional pasar desa/nagari (2012), penyalur dana BOS tercepat (2012), peringkat II nasional penanaman 1 miliar pohon (2012), pembina bank daerah terbaik (2012), provinsi terbaik manajemen KB se- Indonesia (2013), provinsi terbaik pengelolaan pesisir dan pulau kecil (2013), peringkat lima dunia penyelenggaraan Tour Sepeda (2013), juara satu nasional Pemuda Pelopor (2013), penghargaan Kementerian PU atas pembangunan jalan nasional dan jalan provinsi di Sumbar (2014), dan lebih dari 100 penghargaan lainnya di berbagai bidang, semuanya kar ya Irwan bersama wagub dan pemerintah provinsi yang dipimpinnya.

Kemudian, Buya menyatakan, "Sebagai seorang tokoh PKS, Irwan dianggap lebih banyak mengurus kepentingan partainya daripada rakyat Sumbar." Pernyataan Buya ini juga terasa kurang valid.

Sejak menjadi gubernur, Irwan langsung melepaskan jabatan strukturalnya di PKS. Berbeda dengan banyak kepala daerah yang justru menjadi pimpinan atau pengurus partai secara aktif. Beliau tidak menjabat lagi di DPP PKS, apalagi di DPW.

Kemudian, hari-harinya habis untuk rakyat Sumbar. Satu hari kadang beliau hanya tidur tiga sampai empat jam saja. Tidak pernah mengambil cuti, dan hari Sabtu Ahad tetap bekerja. Dalam setahun, puluhan nagari dan ratusan desa yang beliau kunjungi. Daerah-daerah terisolasi dan tertinggal, beliau datangi walaupun harus naik sepeda motor atau naik perahu.

Sangat banyak desa yang belum pernah satu pun gubernur sepanjang sejarah Sumbar datang ke sana, tapi Irwan sampai ke sana. Hadir secara fisik dan juga membawa program pembangunan. Justru banyak pengurus DPD dan DPC PKS yang kecewa dengan Irwan karena sejak menjadi gubernur, beliau tidak mudah untuk diajak ke acara-acara partai.

Irwan rela mendahulukan perbaikan rumah masyarakat dan gedung pemerintahan yang hancur karena gempa 2009 daripada memperbaiki kantornya sendiri. Bahkan, sampai akhir jabatannya, beliau berkantor di rumah dinasnya. Menjelang jabatannya berakhir, semua dinas provinsi menempati gedung baru atau sudah direnovasi.

Terakhir, saya sangat menghormati dan juga mencintai Buya. Beliau begitu peduli dan cinta dengan Sumbar. Barangkali karena itulah beliau menuliskan keresahannya tentang Sumbar dan berharap Sumbar kedepan lebih baik lagi.

Kami menunggu Buya pulang kekampung halaman, memberikan pencerahan kepada kami yang masih terus belajar. Dan, kiranya Buya sudi mampir di Pondok Ar Risalah karena Buya beberapa tahun yang lalu telah menjual rumahnya yang di samping pondok kami.

IRSYAD SYAFAR
Anggota DPRD Sumbar Periode 2014-2019

sumber

Rabu, 19 Agustus 2015

Pilkada di Sumatera Barat 2015


oleh : Ahmad Syafii Maarif
Akhirnya setelah bergumul selama beberapa minggu dalam proses yang meletihkan dan tidak bermutu, lawan petahana Gubernur Sumbar Prof. Irwan Prayitno yang berpasangan dengan Nasrul Abit (mantan bupati Pesisir Selatan) baru muncul secara pasti pada 27 Juli 2015l, yaitu pasangan Muslim Kasim-Fauzi Bahar. Muslim, birokrat pernah menjabat bupati Pariaman selama dua periode. Akan halnya Fauzi Bahar, purnawirawan Angkatan Laut dengan pangkat letkol, selama dua periode jadi wali kota Padang. Sosok ini mendapat kritik keras, khususnya oleh warga Padang karena berlakunya kerusakan menyeluruh di kota itu selama Fauzi berkuasa.

Petahana Irwan kelahiran Yogyakarta 20 Desember 1963 selama lima tahun jadi gubernur menyisakan fakta ini: dari sisi tingkat kesejahteraan masyarakat, Sumbar terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB. Sebagai seorang tokoh PKS, kata orang Irwan lebih banyak mengurus kepentingan partainya dari pada rakyat Sumbar. Memang Ranah Minang lagi bernasib sial, sulit sekali memunculkan pemimpin pro-rakyat yang mau berjibaku membebaskan propinsi ini dari belitan dan lilitan kemiskinan. Dulu ranah ini mendapat julukan sebagai “industri otak,” kini kita tidak tahu ke mana otak-otak itu bersembunyi. Karena hanya dua pasang yang akan bertanding, maka pilihan rakyat Sumbar sudah dipatok demikian rupa. Nama-nama yang sebelumnya mengemuka, seperti Mulyadi (anggota DPR Pusat) dan Shadeq Pasadique (bupati Tanah Datar) yang banyak didukung oleh kaum terdidik dan perantau sudah terkunci oleh kedua pasangan di atas.

Umumnya perantau Minang yang lahir atau pernah di waktu kecilnya tinggal di sana sangat mencintai ranah ini, tetapi tidak betah berlama-lama di sana. Inilah sebuah paradoks psiko-kultural yang dialami para perantau, tidak terkecuali saya yang berasal dari kawasan udik. Jika saya ditanya, sekiranya berhak memilih calon di atas, jawaban saya adalah: akan memberikan suara kepada salah satu pasangan dengan perasaan gundah. Tetapi Muslim Kasim yang sudah berkepala tujuh diharapkan bisa mengawal wakilnya sekiranya terpilih pada pilkada 9 Desember tahun ini. DR. Shofwan Karim, tokoh sipil Minang yang tetap bermukim di sana, sewaktu saya lontarkan isu perlunya pemimpin petarung untuk Sumbar, jawabannya negatif: tidak ada petarung itu di sana saat ini.

Inilah situasi Minang waktu kini. Para intelektual idealis, seperti Tan Malaka, Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Hamka, dan sederetan nama besar lain, tidak lagi lahir di sana. Seakan-akan rahim bumi Minang tidak mampu lagi melahirkan sosok-sosok idola itu di era kemerdekaan. Sisa-sisa otak besar Minangkabau sekarang lebih memilih profesi, seperti dokter, pengusaha, pejabat negara dari pada menjadi pemikir-pejuang-petarung. Ungkapan “alam terkembang jadi guru” sudah kehilangan daya tariknya di alam kemerdekaan bangsa. Kata sastrawan alm. A.A. Navis, tempo dulu orang Minang tidak terpukau oleh kekuasaan politik. Sekarang sebagai bagian dari Indonesia yang kumuh, orang Minang kini suka sekali berburu kekuasaan. Bukan untuk mengabdi, tetapi sebagai mata pencarian. Akankah suasana semacam ini bakal berlangsung lama? Mudah-mudahan tidak. Pasti akan bermunculan generasi yang lebih segar dengan visi jauh ke depan, baik di ranah mau pun di rantau.

Untuk melangkah ke sana harus dirancang dari sekarang siapa yang akan didaulat jadi pemimpin Sumbar tahun 2020-2025. Jika bertemu ruas dengan buku antara ranah dan rantau, tidak ada alasan bagi alam Minangkabau untuk jatuh terjerembab seperti sekarang ini. Sudahlah, gubernur/wakil gubernur periode 2015-2020 harus menjadi pejabat transisi untuk menuju Minangkabau yang segar, bermartabat dan bermutu di bawah kepemimpinan dengan karakter kuat. Saya tahu di antara intelektual muda Minang sekarang ini tanda-tanda untuk tampil sebagai pemikir-petarung mulai bermunculan. Mereka sudah muak dengan segala kepalsuan yang mendera Sumbar selama ini. Gagasan pemikir-pejuang-petarung jangan sampai terlupakan oleh kegadukan politik yang sarat dengan pragmatisme tunamoral ini.
sumber 

Senin, 17 Agustus 2015

Sewaktu Fauzi Bocah : Jualan sayur hingga Menyewakan Buku


Fauzi Bahar lahir di Ikua Koto, Kecamatan Koto Tangah, Padang, 53 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 16 agustus 1962. Ayahnya bernama Baharudin Amin, namun lebih dikenal dengan sebutan Wali Bahar, karena pernah menjabat sebagai wali nagari pada zamannya dulu. Ibunya bernama Nurjanah Umar, seorang guru yang juga aktivis muhammadiyah. keduanya kini sudah tiada. 

Fauzi Bahar anak ke-4 dari enam bersaudara. kakak tertua seorang perempuan (satu satunya perempuan) bernama Khalidah hanum, 54 tahun, seorang guru yang mengajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri Lubuk Buaya Padang. Dia tinggal di Ikua Koto, tepat di sebelah rumah gadang Fauzi Bahar. Berturut-turut Taufik Bahar, 50 tahun, guru SD Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, yang tinggal di perumahan Mega Permai, Kayu Kalek, Lubuk Buaya, Padang. Fakhri Bahar, 48 tahun, swasta, tinggal di Siteba, Padang. Fadli, 44 tahun, adik Fauzi Bahar, tinggal di Ikua Koto, depan rumah gadang keluarganya, wiraswasta dan terakhir Fahmi, seorang Mayor angkatan laut (TNI AL), yang tengah mengikuti pendidikan Seskoal di Jakarta.

Masa kecil Fauzi Bahar, bukanlah masa yang enak untuk dikenang. Jangan membayangkan, sebagai seorang anak Wali Nagari Ikua Koto, maka dia akan hidup dengan senang, untuk ukuran masa itu. Tidak. Sama sekali tidak. Justru kehidupan keluarganya, sangatlah memilukan. Pekerjaan ayahnya sehari-hari adalah seorang petani, yang penghasilannya pas-pasan. Walau dibantu dari gaji ibunya seorang guru, namun tetap saja tidak cukup untuk membiayai sekolah enam orang anak mereka dan biaya hidup sehari-hari. Mereka hidup kekurangan. Untuk makan sehari-hari, serba terbatas. "Makan kami dijatah. sambal yang tersedia hanya pas untuk satu orang. Tidak boleh tambah," kata Fadli, adik Fauzi Bahar, kepada Media center, mengenang kisah masa lalu keluarganya dulu.

Jualan Sayur dan Kue Mangkuk
 
Untuk menambah penghasilan, maka mereka anak laki-laki, mulai dari Taufik Bahar, Fakhri Bahar, Fauzi Bahar hingga Fadli, diharuskan berjualan sayur-mayur. Fahmi masih belum diikutsertakan karena masih terlalu kecil. Maka berangkatlah kakak-beradik ini keliling Ikua Koto hingga Tabing untuk menjual sayur-sayuran hasil kebun mereka, berupa kangkung dan bingkuang. Kagkung dijual di Ikua Koto dan sekitarnya, sedangkan buah Bingkuang dijual di Pasar Raya Padang. Kangkung dijual Rp. 5 per ikat. Mereka membawa 100 ikat-150 ikat setiap hari. Rata-rata, mereka bisa menghasilkan Rp. 500 per hari. "Uang hasil penjualan sayur-mayur itulah yang membantu biaya sekolah kami," kata Khalidah Hanum, kakak tertua Fauzi Bahar.
 

Selain dijual sendiri, ada juga yang dititipkan ke warung-warung. Uang hasil penjualan kangkung tersebut baru mereka jemput sepulang sekolah. Hal itu dilakukan usai shalat subuh hingga waktu berangkat ke sekolah tiba, sekitar pukul 06.30 pagi. Sedangkan sore hari, usai pulang sekolah, tidak ada waktu bermain bagi anak-anak keluarga Bahar. Mereka harus pergi ke kebun, untuk memetik sayur-sayuran, membawa pulang ke rumah
untuk dibersihkan, dan diikat. "Kami terkadang iri melihat anak-anak lain bisa main bola sore hari, sedangkan kami harus pergi ke ladang untuk memetik sayur," ujar Fadli.
 

Selain berjualan sayur-mayur, Fauzi Bahar juga berjualan kue mangkuk. Kue buatan ibunya ini dibawa keliling kampung, pada sore hari, untuk mendapatkan tambahan uang belanja. Jualan kue mangkuk ini dilakukannya selama bersekolah di SD Negeri 03 Ikur Koto. Di sela-sela kegiatan rutin pergi sekolah, memetik sayuran, jualan sayur dan kue mangkuk, hal pokok yang tidak pernah ditinggalkan Fauzi Bahar adalah belajar mengaji di Surau Tabek, yang berada persis di depan rumahnya. Sikap keras ayahnya, yang sangat disiplin dalam menanamkan ajaran Islam dalam diri anak-anaknya, khususnya Fauzi Bahar, inilah yang menjadi modal dasar penerapan dan pendidikan aqidah Islam yang dilakukannya selama ini.

Kehidupan yang serba sulit tersebut dijalaninya sampai Fauzi Bahar berkuliah di IKIP Padang, tahun 1982-1987. Semasa kuliah di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Kesehatan (kini FIK), Fauzi Bahar juga berusaha untuk meringankan biaya kuliahnya, dengan cara membantu saudara sepupunya yang membuka usaha taman bacaan dan penyewaan buku, di Tabing, tepatnya di belakang SMP 13 Padang. Dari usaha sampingan ini, Fauzi Bahar menyisihkan rupiah-demi rupiah untuk ditabung. Kelak dari hasil tabungannya inilah, yang dipakai Fauzi Bahar untuk biaya pendidikannya menjalani wajib militer (wamil) TNI AL.

Anak yang Soleh
 
Fauzi Bahar adalah tipikal anak idaman orang tua. Betapa tidak, sejak kecil, dia sudah sangat berbhakti kepada kedua orang tuanya. Semua perintah ayahnya, dilaksanakan tanpa pernah berkeluh-kesah. Disuruh shalat, dia shalat. Bahkan lebih dari itu, dia rajin sembahyang tahajud. Diperintahkan puasa, dia berpuasa. Bahkan dia juga tidak pernah lupa untuk berpuasa Senin-Kamis. Puasa Sunat itu dijalaninya dengan ikhlas dan sabar.
 

Belajar mengaji di surau, adalah bagian kehidupan sehari-hari Fauzi Bahar semasa kecil. Fauzi Bahar tidak ketinggalan belajar silat, yang merupakan seni tradisi anak nagari Minangkabau. Dia belajar silat di perguruan Pat Ban Bu (Empat Banding Budi) di Ikua Koto. Bahkan setelah tamat belajar silat, dia menjadi pelatih silat di perguruan Pat Ban Bu tersebut.
 

Fauzi Bahar adalah anak yang sangat sayang kepada kedua orang tuanya, khususnya kepada ibunya Hj Nurjanah Umar. “Saking sayangnya, setiap hari Fauzi membuatkan air Bungo Rayo untuk Ibu. Kami saja tidak bisa seperti itu,” kata Fadli. Fauzi Bahar setiap hari juga menyediakan air wudhu untuk ibunya, yang diletakkan di bawah tangga rumah gadang mereka. Ia tak ingin ibunya harus berjalan naik tangga-turun tangga, menuju kamar mandi yang terletak di beberapa meter di samping rumah mereka.
 

Fauzi Bahar kecil juga bukanlah anak yang nakal. Dia tidak pernah terlibat keributan dengan anak-anak lainnya, apalagi sampai berkelahi. Kalaupun pernah berkelahi, justru dengan adik-adiknya, Fadli dan Fahmi. “Saya dan Fahmi pernah marah dan mengajaknya berkelahi. Kami mengeroyok Fauzi di heller dekat rumah. Tapi walaupun sudah dikeroyok, dia tetap menang. Kami sampai minta-minta ampun kepadanya,” tutur Fadli tertawa, mengenang masa kecilnya.
 

Selalu jadi Pemimpin
Sejak muda, jiwa kepemimpinan Fauzi Bahar sudah terlihat. “Karier” kepemimpinannya dimulai ketika Fauzi Bahar menjadi pelatih silat di perguruan Pat Ban Bu di Ikua Koto. Kemudian, dia juga terpilih menjadi Ketua Pemuda Ikur Koto. Ketika kuliah, Fauzi muda masuk kegiatan ekstra-kurikuler Resimen Mahasiswa, dan kemudian menjadi komandannya. Ketika berhasil masuk ke pasukan elit TNI AL, pasukan katak, Fauzi Bahar adalah orang pertama dari alumnus wamil yang berhasil menjadi komandan pasukan elit TNI AL tersebut. “Saya adalah orang pertama dari lulusan wamil yang berhasil menjadi komandan pasukan katak,” ujar Fauzi Bahar, suatu ketika.

Ada cerita pilu ketika Fauzi muda diterima menjadi anggota TNI AL melalui jalur wamil, setamat kuliah dulu. Ketika berita gembira itu disampaikan kepada ibunya, apa jawab ibunda tercinta? “Ibu tidak ada uang Zi. Sama sekali tidak ada uang. Sama apa ibu akan membiayai perjalananmu ke Jawa? Kata ibunya pilu. Kakak dan adik Fauzi Bahar yang mendengar kalimat ibu mereka, tak kuasa menahan air mata yang menetes perlahan.
 

Betapa tidak. Cita-cita sang anak untuk menjadi anggota ABRI (sebutan TNI kala itu), sangatlah menggebu. Bayangkan, sudah berkali-kali Fauzi Bahar ikut test AKABRI, namun selalu gagal. Nah, ketika sang anak tersayang lulus tes wamil, sang ibu justru tidak ada uang untuk biaya perjalanan sang anak mengikuti pendidikan militer tersebut.

Tapi dengarlah jawab Fauzi Bahar. “Tidak apa-apa bu. Saya mohon doa restu ibu saja, agar saya sukses di karier yang saya pilih ini.” Tidak ada yang tahu,darimana Fauzi Bahar memperoleh uang untuk biaya perjalananya ke Jawa. Dia tidak pernah memberitahukan. “Sampai sekarang, kami tidak tahu darimana dia mendapat uang. Mungkin dari tabungannya selama ini,” kata Khalidah Hanum.
 

Tekad yang kuat, pantang menyerah menghadapi masalah, taat beribadah, dan restu Ibunda tercinta, akhirnya membawa Fauzi Bahar sukses dalam kariernya, hingga kemudian menjadi Walikota Padang


sumber

Rabu, 12 Agustus 2015

Muslim Kasim : Silek dan Budaya Minangkabau


Oleh: H Muslim Kasim Ak MM Datuk Sinaro Basa

Silat atau silek tak bisa dilepaskan dari lelaki Minangkabau. Orang Minang gemar merantau memang. Sebelum merantau ia tak membekali anak atau kemanakannya dengan uang yang berlindak. Tapi, ia membekali anak kemanakan itu dengan beragam kepandaian. Pandai basilek atau bersilat, pandai menggalas, dan dilengkapi dengan kepandaian bathiniah dengan mengisi dada akan nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai adat.

Silek tak bisa lepas dari nilai-nilai kesurauan. Mengaji dan mengkaji adalah dua hal yang melengkapi nilai-nilai kepandekaan itu sendiri. Sebelum mengkaji langkah atau garak, terlebih dahulu mereka mengaji. Mengaji nilai-nilai agama di surau. Tuo-tuo silek di Minangkabau, rata-rata adalah para ulama atau pemuka adat yang memiliki nilai-nilai keimanan yang tangguh.

Tradisi basilek, selalu dimulai dari mengaji untuk mengenal nilai-nilai ilahiyah atau ketuhanan. Makanya, ilmu silat tak bisa dilengkapi dengan kebhatinan. Itu ditunjukkan dengan filsafat silek yakni “nan lahia mancari kawan- nan hakikat mancari Tuhan”. Maksudnya, kehadiran seorang pendekar bukan mencari lawan atau permusuhan. Itu tercermin dalam falsafah, lawan indak dicari basobok pantang dielak-an. Hakikat basobok pantang dielak-an bukanlah hakekat yang tegak tanpa kesabaran, namun haikat yang tegak untuk menegakkan kebenaran itu sendiri. Menegakkan yang hak dan menghancurkan yang bathil. Begitulah pandeka di ranah Minang.

Setantang yang hakekat mencari Tuhan adalah upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan Allah. Seorang pandeka adalah seorang yang taat, ia menjadi pagar di tengah nagari. Atau, amal ma’ruf nahi munkar! Itulah pendekar.

Banyak filsafat silek tradisi yang mengajarkan kita pada nilai-nilai ilahiyah. Ketika seorang pesilat tegak berdiri, yang tegak itu adalah “alif”. Alif adalah benar.Alif adalah lurus. Saat itu seorang pendekar sebelum membuka langkah selanjutnya, ia terlebih dahulu berserah diri pada Yang Kuasa, seperti alif tegak lurus.

Ketika, langkah diurak atau dibuka, ia membungkuk seperti membentuk huruf “ba”. Ini yang dimaksud dengan langkah dua. Adalah langkah bertanya. Apakah langkah ini langkah baik atau langkah buruk. Ia bertanya pada Allah. Jawabannya adalah di langkah ketiga; yakni langkah yang tak akan pernah berbalik surut sebelum kebenaran dan keadilan tegak berdiri di bumi tempat berpijak di langit tempat dijunjung.

Filsafat pandeka perlu kita terapkan dalam pengambilan keputusan. Yakni, ditimang-timang baik buruk sebelum melangkah. Supaya jangan terjadi apa yang sering kita dengar yakni; habis cakak takana silek yang kemudian meninggalkan penyesalan-penyesalan. Seorang pandeka adalah seorang yang sabar dan pikiran baginya adalah pelita hati sebelum melangkahkan kaki.

Seorang pasilek atau pandeka adalah seorang yang ‘mengenal’ angin dan mengarifinya sebagai perwujudan alam takambang menjadi guru. Pandeka seorang yang arif dengan angin buruk yang akan mencelakai diri dan orang lain serta angin baik (perbuatan elok) yang akan memberikan banyak manfaat pada orang lain.

Seorang pandeka sejati ia tak akan mungkin mengotori cerek kehidupan.Tak mungkin membuat keributan di tangah nagari, karena ia adalah paga dari nagari itu sendiri. Idealnya, mana mungkin pagar merusak tanaman, begitu juga dengan ‘ mana mungkin pandeka marusak nagari sendiri’.
Kemajuan peradaban ditandai dengan kecanggihan teknologi. Teknologi harusnya memberi kemudahan dalam kehidupan, bukan menciptakan berbagai jaring-jaring keraguan yang menggoda keniscayaan dan keimanan. Kemajuan di depan mata yang terhampar di dunia, tak boleh tertukar dengan nilai-nilai ketaqwaan. Kepintaran dan kecerdasan haruslah dibekali dengan ketaatan dan iman. Jangan sampai hati dibutakan oleh goda-godaan dunia yang cendrung menggelincirkan. Jadilah orang pintar yang bermanfaat. Untuk apa pintar, bila cerdiknya justru untuk membuang atau membunuh kawan. Seorang pandeka di tengah alam adalah seorang yang gema mencari kawan, bukan lawan.

Adat basandi syarak-syarak basandi Kitabullah adalah maklumat kesepakatan bersama antara ulama dan ninik mamak dalam persetujuan sumpah sati bukik marapalam yang tertanam kuat di ruang pikiran, hati dan perbuatan orang Minang hingga kini yang tak lapuk dek hujan dan tak lekang dek panas garang.

ABS-SBK bukanlah kajian, ia adalah terapan. ABS-SBK, bukanlah slogan atau semboyan, ia adalah ketetapan sosial masyarakat Minangkabau yang notabenenya mayoritas hidup di wilayah administrasi Sumatera Barat.

Pada ABS-SBK terkandung sinyal kembali banagari dan kembali meramaikan surau. Nagari dan surau adalah simbol ABS-SBK itu sendiri.

Anak-anak muda kita —parik paga dalam nagari—yang kini banyak lebih dekat dan lebih akrab dengan dunia ‘di ujung jari—yakni internet, ipad, bbm, facebook, twetter, berbagai games online, sehingga mereka nyaris tak mengenal permainan yang dulu marak dalam nagari, yang kita sebut sebagai permainan anak nagari.

Ketika mereka lebih gemar dan lebih mengenal internet games ketimbang permainan anak nagari, maka pada saat itu, sadar atau tak sadar mereka telah melenyapkan satu sisi dari bungkahan rasa cinta pada ranah Minang.

Untuk itu, mari kita tanamkan nilai-nilai cinta dan semangat untuk ranah Minang dalam kehidupan anak mudo kita terkini. Anak nagari Minangkabau, jangan sampai tinggal nama akibat dicabik atau dilindas oleh roda zaman yang kian tajam. Seyogyanya mereka harus mengenal sejarah “keminangkabauan”. Kita gamang sekiranya mereka lupa dan tak peduli sejarah, pada saat itu satu sendi musnah, yakni kaburnya identitas diri. Bukankah kekuatan satu bangsa terletak pada identitas? Mari kita semarakkan lagi berbagai kreasi dalam nagari. Bila anak mudanya kreatif, nagari otomatis semarak. Karena, sumarak nagari karena nan mudo.

Saatnya kreativitas itu kita arahkan pada kreasi yang mengakar dalam tradisi kita yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah.

Salah satunya, kita semarakkan kembali sasaran atau galanggang silek di nagari-nagari, di sekolah-sekolah bahkan di kampus-kampus. Semua olahraga beladiri itu baik, tapi alangkah baiknya bila anak muda kita kembali ramai basilek.

Selamat bersilat, bukan bersilat lidah menutup kebohongan, tapi adalah bersilat langkah untuk membuka kebenaran-kebenaran!

Selasa, 11 Agustus 2015

MK & Fauzi : Duo Penjaga Silek Minang


Muslim Kasim  dan Fauzi Bahar termasuk tokoh yang paling gigih dalam melestarikan budaya adat Minangkabau, tak terkecuali silek. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari didikan surau yang mereka cecap  sewaktu bocah. Sebagaimana kita ketahui, didikan surau bukan cuma mendidik anak-anak bujang dengan ilmu agama, tetapi juga akhlak yang baik, termasuk pula belajar silek.

Bagi Muslim Kasim, silek tidak bisa dipisahkan dari lelaki Minangkabau. Disela-sela kesibukannya sebagai pamong senior, Muslim kasim masih menyempatkan diri berlatih silek. Tidak heran jika usia tidak lantas mengerus kemampuan bersilatnya. Ketika diuji para tuo silek dan pandeka, Muslim Kasim masih lincah.  Tendangan dan pukulan dapat ditangkis dan dipatahkan, bahkan Muslim Kasim juga balas menyerang. 

Saat ini Muslim Kasim Pembina Perkumpulan Silat tradisi Minang "Rancak Basamo Salingka Marapi Salirik Gunuang Singgalang”. Ia mendorong agar para tua silat mau mendirikan Koperasi Pendekar Minang , sebuah wadah sosial dan ekonomi, tak saja bagi guru silat tapi juga bagi para pendekarnya. Muslim Kasim juga mendukungbila ada keinginan dari tua silat mendirikan wadah khusus bagi pengembangan dan pelestarian silat yang berakar tradisi Minangkabau yang bukan untuk dipertandingkan, tapi diarifi dalam sikap yang bijak. Termasuk menggagas Musyawarah besar pendekar Minang guna pengembangan silek tradisi Minang.

Fauzi Bahar juga demikian. Ketegasan, kedisiplinan sekaligus sikap persaudaraan yang kental di diri Fauzi Bahar bukan semata-mata didikan  marinir. Jauh sebelum itu, Fauzi Bahar sudah mempelajari karakter luhur tersebut melalui silek.

Sejak kecil, Fauzi Bahar, yang turut berjualan sayur kangkung dan kue mangkuk ini, belajar mengaji di Surau Tabek, yang berada persis di depan rumahnya. Fauzi Bahar belajar silat di perguruan Pat Ban Bu (Empat Banding Budi) di Ikua Koto. Bahkan setelah tamat belajar silat, dia menjadi pelatih silat di perguruan Pat Ban Bu tersebut.



Atas dedikasinya dalam mengembangkan silek di Sumatera Barat, Fauzi Bahar ditetapkan sebagai  Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Sumatera Barat periode 2012-2016. Pelantikan dilakukan oleh Ketum IPSI Letjen (Purn) Prabowo Subianto di di GOR Universitas Negeri Padang. Selain itu, oleh oleh Niniak Mamak  Koto Tangah Fauzi Bahar diberi gelar Pandeka Rajo Nan Sati.
Silek Minangkabau berguna sebagai perisai diri, sekaliguss mengandung kewajiban untuk manajadi garda penjaga nagari. Ikatan silek ini juga yang membuat Muslim Kasim – Fauzi Bahar klop untuk membangkik batang tarandam. Serupa silek, majunya Muslim Kasim – Fauzi Bahar dalam gelanggang pilgub Sumbar,  bukan semata-mata ambisi, tetapi merupakan perwujudan dari menjaga nagari.

Bahkan, jauh-jauh hari para tuo silek dan ribuan pandeka mudo di Perkumpulan Seni Silek Tradisi Minangkabau Rancak Basamo (PS2T-MKRB) sudah siap mengalangkan leher demi me­m­bangkit batang ta­ran­dam, yaitu ko­mitmen untuk mendukung Muslim Kasim menjadi Gu­bernur Sumbar periode 2015-2020.