AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

Sabtu, 16 Mei 2015

Politik Mobilisasi Birokrasi


Pilkada serentak 9 Desember 2 15 sudah berada di depan “pintu demokrasi daerah”, berbagai calon sudah banyak yang menyiapkan amunisi untuk merebut tiket masuk, karena bisa mengemban amanah rumah “rakyat” tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota. Dengan semakin dekatnya Pilkada pada masing-masing daerah yang ada di Indonesia, termasuk itu Provinsi Sumatera Barat.

Momentum Pilkada serentak kali ini, akan menjadi suasana yang menyegarkan dalam demokrasi, jika pelaksanaanya penuh dengan penghayatan bukanlah tipu daya “politik” sesaat, yang akhirnya mengarahkan hak rakyat dari milik publik, menjadi milik golongan/kaum/individu. Masalah yang perlu kita lihat dalam momentum Pilkada adalah posisi birokrasi, sebagai wujud pelayanan yang “netral” bagi rakyat dalam konteks pelayanan publik.

Birokasi yang netral akan sulit ditemukan pada momentum Pilkada. Jika seseorang calon Gubernur/Bupati/Walikota baru menjabat pada periode pertama, sebagai pertahanan ia masih berhak untuk mencalonkan kembali. Dalam posisi ini, jika dia bukan lagi berpasangan dengan wakilnya. 
Persoalan ini akan menjadi bahaya, proses perangkulan kekuasan dan legitimasi akan terbelah pada Guberur/Bupati/Walikota beserta dengan wakilnya. Maka dari itu, posisi birokrasi sebagai lahan yang “suci”, tidak boleh ada keberpihakan pada calon tertentu, dalam rangka ini petahana selalu menggunakannya. Saat petahana itu Gubernur/Bupati?

Walikota ia cendrung berkonflik dengan wakilnya saat akan maju periode kedua dalam rangka merebut birokrasi. Tetapi akan datang contoh yang sama, saat petahana itu adalah Wakil dari Gubernur/Bupati/Walikota saat sudah dua periode menjabat. Kondisi perebutan birokrasi ini akan saya khawatirkan, jika contoh kasus ini kita ambil pada percaturan politik Pilkada Sumbar, dalam proses perebutan posisi Gubernur.

Irwan Prayitno sebagai petahana dan Muslim Kasim juga seorang petahana, dalam hal ini birokrasi akan memilih pada deal-deal politik dua arah, yang akan mudah digerakan dari berbagai sisi.
Jika nanti, Irwan Prayitno tidak berpasangan lagi dengan Muslim Kasim. Maka perdebatan dalam memperebutkan massa, birokasi adalah langkah yang dilakukan Gubernur/Wakil Gubernur Sumbar petahana mempertahankan kue-kue yang ada birokrasi dengan segala cara, dan menghilang netralitas birokrasi. 

Politik
Jika kita merujuk pada berbagai literatur sejarah Indonesia, birokrasi adalah sesuatu yang menggambarkan tentang proses pertarungan kekuasan diantara titik politik yang ada lahan-lahan yang struktural. Belanda sebagai kiblat awal birokrasi Indonesia, atau yang dulu sering disebut Hindia Belanda. Birokasi adalah alat dalam memperpecah antara golongan ‘priyayi” dengan “pribumi”. 
Seperti yang dikutip oleh buku Yudi Latief—Intelegensia Muslim dan Kuasa, yang juga sekaligus menjadi disertasinya, bahwa birokasi pada zaman Belanda adalah alat Belanda untuk memberikan jarak pisah antara, rakyat priyayi berpendidikan dengam pribumi tak berpendidikan. Sesuai dengan penjelasan Yudi Latief, birokrasi adalah pembecah belah antara rakyat Hindia(Indonesia) yang priyayi dengan pribumi.

Jika kita rujuk pandangan Harry Julian Benda, bahwasanya dengan adanya pola-pola yang dilakukan oleh Belanda terhadap masyarakat Hindia dalam berpendidikan. Selain pendidikan di Stovia hanya diberikan kepada golongan priyayi, golongan ini juga mendapatkan proses bahwasanya setelah itu mereka akan bekerja di birokasi Belanda.

Jika iming-iming itu yang dimainkan maka akan mendapatkan kesulitan dalam mempertemukan tujuan perjuangan kerakyatan yang dipegang oleh priyayi Hindia yang terdidik secara Belanda, dan ada reward jabatan di birokrasi. Semakin memberikan jenjang pemisah antara pribumi dengan priyayi—terkadang antara golongan ini berkonflik. 

Era Indonesia
Pola-pola yang dilakukan oleh Belanda dalam memanfaatkan birokrasi sebagai alat pemecah persatuan Indonesia. Pada era Orde Baru(orba), birkrasi adalah jalur Soeharto dalam memanfaatkan kondisi-kondisi politik yang menguntungkannya. Langkah –langkah itu dimulai dengan adanya pemanfaatan “birokrasi” oleh Soeharto dalam proses pemenangan dalam pemilu, setiap diadakan.
Golkar, sebagai refresentatif masyarakat menjadi sebuah alat ukur doktrin Soeharto dalam memainkan nila-nilai itu dalam lembaga terstruktur. Selama 32 tahun, gagasan Soeharto tentang doktrin permainan birokrasi sebagai langkah politisasi. Menjadikan itu adalah kebiasan bagi masyarakat Indonsia.

Dan langkah yang dilakukan Soeharto, jarang yang berani menolak untuk tak memilih Soeharto. Dalam hal ini kekuatan Soeharto berakhir sampai  21 Mei 1998. Pertanda kuatnya mobilisasi birokasi oleh Soeharto, ia tetap kokoh dengan pemerintahan yang sering kena goncang angin dari dalam. 
Saat reformasi begulir, dalam hal ini isu otonomi daerah mulai dicanangkan oleh pemerinatah, maka Pilkada adalah wujud bagaiman politik tak lagi tersentralisasi pada wilayah pusat, tetapi juga mengakar pada wilayah daerah(disentralisasi).

Otonomi daerah inilah yang menyebabkan Pilkada berada pada titik permainan birokrasi, kita memahami secara bersama bahwa setelah reformasi, dan otonomi daerah dilebarkan dinasti politik yang penuh dengan permainan birokrasi sebagai alat politik, sering terjadi di beberapa daerah, apalagi dalam Pilkada pemimpin petahana sering menang dua periode, karena menggunakan “birokrasi” sebagai alat politik, dalam daerah manapun yang ada di Indonesia, persoalan ini adalah lumrah.

Penutup
Politik yang menggunakan birokrasi, dalam sistem politik kita kedepan harus banyak upaya-upaya perbaikan, jika tidak “birokrasi” selalu menjadi alat kepentingan politik berbagai elemen, terutama pemimpin daerah yang petahana. Jika birokrasi terus menjadi alat lumbung suara dalam mengambil kepentingan suara, demokrasi kita masih belum bisa menjadi percontohan. Kita harus terus belajar untuk mematangkan demokrasi. 

Arifki - Analis Politik Pemerintahan FISIP Universitas Andalas, Padang




0 komentar:

Posting Komentar