AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

Jumat, 22 Mei 2015

Pemimpin yang Diridhai


Sebagai umat Islam, meyakini bahwa kita adalah manusia pilihan, umat terbaik di sepanjang zaman. Sebab Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi makhluk yang berperan ganda, yaitu sebagai Abdun atau hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Peran dan tugas manusia sebagai khalifah menuntutnya untuk mampu mengelola, melestarikan, menguasai dan memakmurkan alam ini. 

Manusia harus mampu berinteraksi dengan sesamanya (hablun minannas) dan alam sekitarnya (hablun minal ‘alam) secara harmonis. Allah pun membekali manusia berbagai potensi untuk mampu berkuasa. Karena itu, manusia memiliki hasrat ingin berkuasa. Namun tidak semua manusia mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah secara baik, meskipun kekuasaan telah ada di tangannya. 

Tidak semua pemimpin terpilih di negeri ini mampu mengendalikan kekuasaan sesuai dengan keridhaan-Nya. Untuk mewujudkan tugas dan peran manusia sebagai khalifah, maka umat Islam butuh sosok pemimpin yang adil. 

Salah satu profil pemimpin atau penguasa yang dikisahkan dalam al-Quran adalah Nabi Daud a.s. Allah SWT memberikan peringatan kepada Nabi Daud a.s. melalui firman-Nya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Qs. Shaad/38: 26).

Melalui ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Daud a.s. untuk memutuskan perkara secara adil. Sebab seorang pemimpin berhak untuk mengambil kebijakan dan keputusan terkait dengan berbagai persoalan yang ada di bawah kepemimpinannya. Demikian pula Nabi Daud a.s., suatu ketika pernah dihadapkan pada persengketaan dua orang laki-laki yang menghadap padanya.

Maka sebagai seorang pemimpin, Allah memerintahkannya agar memutus perkara secara adil. Keadilan itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, secara objektif, apa adanya, tidak bertentangan dengan hukum Allah; bukan karena kepentingan pribadi dan kelompoknya. Di sisi lain, Allah melarang keras para penguasa berkuasa dengan mengikuti hawa nafsu.

Memimpin dengan hawa nafsu akan melahirkan kebijakan yang hanya berorientasi pada duniawi, mengedepankan materi, memilih kenikmatan sesaat, mementingkan diri dan golongan, cenderung menghalalkan segala cara; hukum mereka rekayasa, korupsi menjadi budaya, agama hanya pemanis kata. Memperturutkan hawa nafsu menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. 

Dengan demikian ia akan kehilangan kontrol pribadi sehingga ia tersesat dari jalan yang diridhai Allah. Apabila kesesatan itu telah menyelubungi hati seseorang, ia lupa akan keyakinan yang melekat dalam hatinya bahwa di atas kekuasaannya masih ada yang lebih berkuasa. Itulah sebabnya orang yang memperturutkan hawa nafsu itu diancam dengan ancaman yang keras, mereka akan rasakan deritanya di hari pembalasa. 

Firman-Nya: … Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Qs. Shaad/38: 26).
Azab itu bisa saja ditunjukkan Allah sebagiannya di dunia, dan pasti mereka rasakan di akhirat. Tidak sedikit di antara pemimpin yang memperturutkan hawa nafsunya itu berakhir dengan su’ul khatimah (akhir yang buruk) di penghujung kepemimpinannya. Kebaikan yang selama ini dielu-elukan terkubur dan berganti dengan bau busuk yang menyengat. 

Allah bukakan aibnya di antara sesamanya. Namun, bagi mereka yang konsisten menegakkan amanah, tentulah akan dimuliakan. Tetapi tidak ada pula jaminan orang yang berjuang menegakkan kebenaran itu akan dipuji dan dihormati orang dalam kehidupannya. Adakalanya kebijakan yang mengedepankan keadilan dan kebenaran itu tidak populer bagi rakyatnya. Ia pun dihina dan direndahkan. 

Tentu hal itu tidaklah akhir yang buruk (su’ul khatimah) baginya. Tak heran, ada pemimpin yang masa hidupnya dihina, tapi setelah ia tiada baru dipuji dan disayangi. Lalu bagaimanakah caranya agar kita sebagai umat Islam tampil sebagai umat terdepan dengan hadirnya para pemimpin yang menjalankan tugasnya sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini?

Untuk memenuhi harapan itu, patut kita renungkan firman Allah SWT dalam surat an-Nur/24 ayat 55: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik (Qs. an-Nur/24: 55).

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT berjanji akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang beriman dan meneguhkan agama yang telah diridhai-Nya kepada mereka. Paling tidak ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama, teguhkan iman kepada Allah SWT. Iman kepada Allah tidak sekedar keyakinan dalam hati, tetapi terintegrasi dalam setiap ucapan dan tindakan. 

Konsekuensi orang yang beriman adalah senantiasa merasakan bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, kapan dan di mana pun. Maka seorang pemimpin yang beriman, tidak akan berani korupsi, melakukan kejahatan dan kezaliman, karena ia yakin Allah senantiasa mengawasinya. Kata iman juga seakar dengan kata aman dan amanah.

Setiap mukmin mesti berkontribusi mewujudkan rasa aman bagi lingkungan sekitarnya lalu ia senantiasa memelihara sifat amanah setiap menjalankan tugas sesuai dengan profesinya. Menjadi pemimpin itu banyak godaan. Maka iman menjadi benteng dan perisai untuk menolak godaan negatif itu. Kedua, gemar beramal saleh. Shaleh artinya baik, lawan katanya adalah fasad, artinya berbuat kerusakan.

Orang yang beramal shaleh adalah orang yang tidak berbuat kerusakan baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Amal shaleh merupakan suatu pekerjaan yang produktif dan inovatif. Maka umat Islam harus giat bekerja dimana pekerjaan itu bernilai positif. Amal saleh adalah perbuatan yang bernilai kebaikan secara lahir dan batin. Jika lahirnya baik tetapi niatnya buruk, tidaklah dinilai sebagai amal saleh, begitu sebaliknya. 

Maka pemimpin yang diridhai adalah pemimpin yang melayani rakyat dengan prinsip amal saleh. Bukan jadi pemimpin yang senang dilayani: ketika ia hadir di tengah keramaian, ia ingin disambut berdiri, disalami dan dihormati; dihidangkan dengan makanan lezat lalu menerima pemberian berupa uang atau benda berharga lainnya.

Ketiga, giat beribadah kepada Allah SWT. Ibadah itu tidak saja yang wajib, tetapi juga ibadah-ibadah sunnah. Setiap ibadah yang dilakukan seorang pemimpin, akan menjadi terapi baginya untuk tetap istiqamah menjalankan kepemimpinannya dengan adil dan benar. Karena itu, ibadah ritual yang dilakukan akan membuat seseorang menjadi lebih berkualitas dalam kehidupannya.

Keempat, jangan menyekutukan Allah. Yang termasuk menyekutukan-Nya, tidak hanya menyembah selain Allah, tetapi juga termasuk menggantungkan harapan kepada selain-Nya. Jika hidup hanya berorientasi pada jabatan dan/atau harta, maka jabatan dan harta itu bisa menjadi Tuhan seseorang. Namun jika ia yakin bahwa ridha Allah sebagai tujuan hidup, maka tak ada celah bagi seorang pemimpin untuk berbuat zalim.
Jika keempat hal itu bisa dilakukan, maka Allah akan mengangkat umat ini menjadi penguasa yang mampu melakukan perubahan dari keterbelakangan menuju negeri yang berkeadaban, dari bangsa yang dicekam kecemasan dan ketakutan menjadi bangsa yang aman dan tenteram dalam ridha-Nya (Qs. an-Nur: 55).

Ini perlu kita upayakan, apalagi kita berada di negara yang menerapkan sistem demokrasi, pemimpin lahir dari pilihan rakyat mayoritas. Jika masing-masing dari kita sebagai bagian rakyat ini mayoritas menjadi umat yang taat dan adil, tentulah kita memilih pemimpin yang taat dan adil pula. Hal ini penting kita renungkan, mengingat di tahun 2015 ini akan dilakukan Pemilukada di Sumatera Barat. 

Semoga provinsi kita dipimpin oleh pemimpin yang diridhai Allah SWT, seperti Nabi Daud a.s., yang adil dan tidak menurutkan hawa nafsunya. Lebih mementingkan umat dari kepentingan pribadi dan golongan. Dengan begitu, kekuasaan diberikan kepada kita sebagai umat terpilih, umat terbaik dalam mewujudkan Baldatun Tayyibatun wa rabbun Ghafur. (*)
Muhammad Kosim - Alumnus Program Doktor IAIN IB Padang
koran.padek

0 komentar:

Posting Komentar