AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

Kamis, 26 Maret 2015

Kampanye Dengan Fasilitas Daerah


Dalam beberapa bulan terakhir, Sumatera Barat (Sumbar) diramaikan dengan baliho-baliho Bakal Calon Gubernur Sumbar yang menghiasi setiap sudut pinggiran jalan. Berbagai trik halus dimainkan sejumlah figur guna meraup dukungan masyarakat. Mulai dari layanan sosial, layanan pendidikan, mengatasnamakan pemerintah, bahkan ada yang secara terang-terangan menyatakan kesiapannya memimpin Sumbar lima tahun kedepan.

Calon incumbent misalnya, menyuguhkan keberhasilan pembangunan Sumbar dalam lima tahun terakhir. Sebagian kalangan menilai, baliho yang dipasang Irwan Prayitno tersebut merupakan hal yang wajar karena posisinya sebagai Gubernur Sumbar yang berhak menggunakan fasilitas daerah. Namun, kalangan lain berpendapat, sikap orang nomor satu di Sumbar ini tak etis karena yang ditonjolkan adalah figur Irwan dan bukan keberhasilan pemerintah.

Sehingga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum karena berkampanye dengan fasilitas daerah. Jamak diketahui Irwan akan kembali bersaing dalam perebutan kursi gubernur untuk satu periode berikutnya.

Fasilitas Daerah
Baliho merupakan fasilitas “gratis” yang diberikan negara kepada daerah sebagai media informasi publik atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pasal 47 Ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyebutkan, reklame atau baliho yang diselenggarakan pemerintah bukanlah objek dari pungutan pajak daerah.

Ketentuan ini dimaksudkan mempermudah pemerintah melakukan sosialisasi program dan hasil kerja pemerintah kepada masyarakat tanpa dikenai pajak. Hal serupa juga diatur dalam Perda Kota Padang No. 8 Tahun 2011, dimana hanya untuk kepentingan pemerintahlah fasilitas daerah itu dapat digunakan secara gratis.

Senada dengan itu, UU No. 8/2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga mengatur hal yang sama. Dimana terdapat larangan bagi peserta Pemilu menggunakan tempat atau gedung milik pemerintah sebagai tempat atau ruang kampanye, begitu juga dengan tempat informasi publik yang hakikatnya adalah milik pemerintah.

Oleh karena itu melarang keras pejabat publik memanfaatkan fasilitas daerah untuk kepentingan pribadi adalah sikap elok yang harus dilakukan. Bukan tanpa sebab, jika terbukti, pemanfaatan fasilitas daerah untuk kampanye oleh bakal calon kepala daerah merupakan pelanggaran berlapis yang tentu berdampak serius pada pencalonannya kedepan.

Menghindari Pajak
Memang terbilang “susah” memisahkan antara kampanye (terselubung) yang dilakukan calon incumbent dengan pelaksanaan tugasnya sebagai kepala daerah, terutama dalam penggunaan fasilitas daerah sebelum tahapan resmi Pilkada dilakukan. Jika ditelisik konstruksi UU No. 28/2009 hanya mengizinkan beberapa agenda yang tak dikenai pajak, seperti penggunaan baliho oleh pemerintah pusat, provinsi, atau pemerintah daerah.

Serta penyelenggaraan kegiatan sosial, atribut partai politik, organisasi kemasyarakatan dan sejenisnya. Celah inilah yang sering dimanfaatkan bakal calon kepala daerah persisnya sebelum tahapan Pilkada dimulai agar tak dikenai pajak. 

Sebut saja, Baliho Irwan Prayitno yang berkedok program pemerintah dan layanan sosial, Hendra Irwan Rahim, ketua DPRD Sumbar dan Epyardi Asda selaku anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bersembunyi dibalik partai politik, Fauzi Bahar, mantan Wali Kota Padang dua periode mengatasnamakan layanan pendidikan, dan nama lainya seperti Bupati Tanah Datar, Shadiq Pasadigoe, serta Wakil Gubernur Sumbar, Muslim Kasim yang sepantasnya juga dikenakan pajak.

Namun dari kesemua nama tersebut, sosok tersohor yang paling mendapat sorotan publik adalah Irwan Prayitno. Hal ini dikarenakan Irwan sedang mengemban amanah daerah dan tentu rentan penyalahgunaan wewenang.

Alasan utamanya adalah fasiltas daerah yang digunakan Irwan dalam “promo daerah” kali ini dipajang dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Sumbar plus bakal calon kepala daerah 2015, sehingga semua baliho yang terpajang luput dari jangkauan pajak daerah. Persoalan ini tentu perlu mendapatkan perhatian serius dari penyelenggara Pemilu dalam melihat realitas politik Ranah Minang dewasa ini.

Setidaknya ada dua kemungkinan pelanggaran yang dilakukan calon incumbent tersebut. Pertama, dugaan pelanggaran administratif penggunaan baliho. Di mana, apabila terbukti, pelanggaran tersebut harus segera dihentikan agar negara atau daerah tidak dirugikan. Pada saat bersamaan, peserta Pilkada lainya juga tidak dirugikan akibat “keuntungan” menggunakan fasilitas daerah oleh salah satu bakal calon (incumbent).

Kedua, terdapat indikasi tindak pidana Pemilu. Pemakaian falisitas daerah guna keperluan kampanye dapat digolongkan sebagai perbuatan merugikan keuangan atau pemasukan daerah dari sektor pajak. Di mana, perbuatan tersebut secara tegas dilarang dan disertai ancaman pidana dalam UU Pemilu.

Tindak Lanjut
Kelenturan UU Pajak dan Retribusi Daerah tampaknya harus segera diregangkan oleh penyelenggara Pemilu agar tahapan pemilihan orang nomor satu di Sumbar kali ini berjalan lebih fair. Oleh karenanya ada beberapa upaya yang dapat dilakukan penyelenggara Pemilu guna mewujudkan Pilkada yang berkeadilan.

Pertama, Menyangkut keikutsertaan kepala daerah (calon Incumbent) dalam Pilkada, batas pemisah antara kapasitas jabatan dan pencalonannya kembali pada Pilkada berikutnya itulah yang mesti dijaga dan digariskan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebab, titik rawan penyimpangan ada disana. Alibi bahwa fasilitas daerah sebagai fasilitas yang dapat dipergunakan gubernur sebelum tahapan Pilkada dimulai sangat tidak relevan dan harus dikesampingkan.

Tidak satupun ketentuan, baik yang berhubungan dengan UU Pilkada maupun UU Pajak dan Retribusi Daerah yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk maksud “baik” itu. Kedua, demi terselanggaranya perhelatan besar demokrasi Sumatera Barat yang lebih berimbang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat mengeluarkan aturan yang berisikan larangan bagi calon incumbent menggunakan fasilitas daerah dalam berkampanye. 

Aturan semacam ini dapat dipertegas bila kepala daerah yang ingin mencalonkan diri kembali pada Pilkada berikutnya dilarang menggunakan fasilitas daerah dalam bentuk apapun dalam rangka kampanye minimal enam bulan sebelum tahapan resmi Pilkada diumumkan. Atau program dan hasil kerja pemerintah yang hendak diumumkan melalui media apapun dilarang menampilkan figur calon kepala daerah minimal waktu yang telah disebutkan sebelumnya.

Hal ini bertujuan meminimalisir pelanggaran Pilkada dan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi kuat (sering) dilakukan calon incumbent di daerah manapun. 

Ketiga, Bawaslu harus segera proaktif menyelidiki setiap kemungkinan yang berpotensi besar terjadinya pelanggaran Pemilu. Tidak pandang apakah itu calon incumbent sekalipun mesti diberlakukan sama dengan calon kepala daerah lainya. Membiarkan dugaan pelanggaran tersebut berlalu begitu saja, sama halnya membiarkan Pilkada 2015 di Sumbar berjalan secara tidak fair. Semoga. (*)

Agil Oktaryal - Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum, Unand

0 komentar:

Posting Komentar