Pemilihan Gubernur Sumatera Barat semakin dekat, baliho-baliho calon Gubernur mulai bertebaran di jalan-jalan yang ada di Sumatera Barat. Pertarungan ini menarik, banyaknya calon-calon yang ingin bertarung dalam “pesta demokrasi Provinsi”, tak sesuai dengan jumlah kapal politik yang akan mengantarkan para calon untuk masuk dalam bursa calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumbar.
Banyaknya calon belum ada Partai Politik yang menyatakan dengan tegas, calon yang akan diusung oleh Partainya. Termasuk itu, petahana Irwan Prayitno, bahasa yang digunakan oleh IP, PKS belum mengeluarkan keputusan yang akan diusulkan oleh PKS. Dengan memiliki 7 kursi di legislatif, PKS membuntuhkan dukungan dari partai lain untuk melakukan koalisi, dengan komposisi 13 kursi dukungan legislatif, peta politik akan mebawa arah angin PKS kepada Gerindra.
Hanura, sebagai partai yang cerdik, menjadi King Maker dengan membuka jalur ‘Kapal Politik” untuk calon Gubernur yang ingin diusung oleh Koalisi Hanura. Dalam posisi ini, Hanura (5 kursi di provinsi) akan mengumumkan koalisi dengan PDIP (4 kursi) serta PKB dan PBB ( masing-masing 1 kursi). Dengan koalisi tersebut sebenarnya masih kurang karena baru 11, untuk memenuhi 3 kursi lagi Koalisi Hanura sangat “cerdik” menjadi posisi tawar dengan banyaknya calon yang ingin terlibat dalam bursa calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Barat(Haluan,24/3).
Komposisi anggota DPRD 2014-2019, Partai politik yang memiliki kursi di DPRD Provinsi Sumbar periode 2014-2019 adalah partai Golkar dengan 9 kursi, Demokrat, Gerindra, PAN dan PPP masing-masing delapan kursi, PKS memiliki 7 kursi, Partai Nasdem 6 kursi, Hanura 5 kursi, PDIP 4 kursi dan PKB serta PBB masing-masing 1 kursi.
Memiliki 13 kursi legislatif, menjadikan Koalisi Hanura menjadi “posisi tawar” yang menjadikan Koalisi Hanura lebih hebat dalam mengelola “perebutan posisi” dalam keraguan calon yang belum memiliki kapal. Dibandingkan Partai Golkar, dengan adanya tiga calon potensial dari Partai Beringin ini, seolah-olah mereka harus berpecah dari dalam , demi merebut kursi Gubernur. Sebagai pemilik 9 kursi di DPRD Provinsi, dan berada dalam “pemilih tahta” tertinggi legislatif DPRD Provinsi—Partai Golkar, kurang jeli membangun “jiwa mengalah” di kalangan internalnya. Akibatnya, Golkar dalam melawan petahana Irwan Prayitno, terlihat penuh dengan gegabah.
Diskusi dan wawancara khusus secara terbuka dengan tujuh kandidat calon gubernur di Hotel Grand Inna Muara Padang, 25/3. Mulai dari, Epiyardi Asda (anggota DPR RI dari PPP), Fauzi Bahar (mantan Walikota Padang), Syamsu Rahim (Bupati Solok), dan Shadiq Pasadique (Bupati Tanah Datar). Lalu Muslim Kasim (Wakil Gubernur Sumbar), Muhammad Kapitra Ampera (pengacara senior) dan terakhir yang mendaftar adalah Mulyadi (Anggota DPR RI Fraksi Demokrat) (Haluan, 24/3). Koalisi Hanura mengambil posisi yang menguntungkan dalam “kebingungan” calon dari partai-partai yang ada, tetapi adanya keraguan dari masing-masing partai dalam mencalonkankan kadernya pada bursa demokrasi Provinsi, pada 9 Desember 2015 nanti, Pilgub Sumbar penuh dengan debar-debar politik.
Gagalnya Golkar
Jika pertemuaan ini berlangsung dengan penuh tawar-menawar politik, tentunya koalisi ini akan mendatangkan deal-deal politik yang “gemuk”. Koalisi Hanura, meskipun tak mencukupi 13 kursi dalam mengusung Gubernur, tetapi dengan ia punya “kue” penentu awal, mempermudah koalisi Hanura, meskipun tak memiliki figur dari partainya. Koalisi Hanura, bisa membuat partai dan kandidat lain tergantung kepadanya agar bisa “menyiapkan kapal” untuk berlabuh dalam pesta demkorasi Sumatera Barat.
Golkar, dengan memiliki calon Syamsu Rahim, Shadiq Pasadique dan Muslim Kasim. Dengan “kualitas” kader yang muncul dari kader Golkar Sumbar, ketiga orang ini memiliki kapasitas yang cukup baik. Namun, jika kapasitas yang baik, tetapi Golkar tak mendapatkan 13 kursi legislatif, sehingga tak bisa mencalonkan Gubernur dan Wakil Gubenur dari Partai Golkar secara tunggal. Harus ada dari tiga kader Golkar yang potensial tersebut yang mengalah, karena mau tidak mau Golkar membutuhkan partai lain untuk membangun koalisi.
Sebagai partai yang menjadi “lumbung” tokoh, dan kuatnya massa di kalangan akar rumput, Golkar tidak menunjukan sikap egonya dalam memaksakan sesama kadernya bertarung dalam Pilgub. Karena, persoalan Golkar pusat, pertarungan kubu Ical dan Agung Laksono, masih belum tuntas, maka ini juga akan berdampak dengan kekompakan kader berjuang dalam Pilkada Sumbar. Golkar, jika hanya menjadi “King Maker”, sebagai partai yang memiliki suara tertinggi di legislatif, sungguh disayangkan Golkar kalah dalam upaya pengelolaan konflik internal yang berdampak pada “jabatan politis” yang akan direbut Golkar.
Kekuatan politik yang dimiliki petahana Irwan Prayitno (IP), memang kuat. Sebagai petahana ia memiliki amunisi yang banyak dalam membangun jejaring kuat dalam internal partai. Sehingga, kader Golkar Muslim Kasim yang menjabat sebagai Wakil Gubernur, tidak bisa berbuat banyak, kalau segala tindak tanduk dipegang oleh Gubernur (baca: Irwan Prayino). Penguasaan IP yang besar, terhadap birokrasi dan penggunaan fasilitas publik, posisi Muslim Kasim, meskipun ia Wakil Gubernur lebih lemah dalam kadar popularitas dari teman sekadernya di partai Golkar: Shadiq Pasadique dan Syamsu Rahim, yang menjabat sebagai Bupati.
Pertimbangan-pertimbangan yang matang harus dipikirkan oleh Partai Golkar Sumbar, dalam menetapkan calon yang akan diutus Golkar, untuk bertarung dalam kompetisi Pilgub Sumbar, jika pertarunga Pilgub terjadi pertemuan antara kader Golkar. Posisi ini menguntungkan bagi Petahana untuk menang kembali, dengan memanfaatkan “tak adanya dari tiga kader Golkar” tersebut yang akan mengalah. Dengan kondisi seperti ini, banyaknya calon yanga dalam bursa Pilgub Sumbar, ibara Nakhoda tak punya kapal poltik.***
ARIFKI
(Analis Politik dan Pemerintahan UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas)
(Analis Politik dan Pemerintahan UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas)
0 komentar:
Posting Komentar