AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

Kamis, 02 April 2015

Politik Baliho Mengancam Zona Publik


Kampanye Kepagian Para Calon Pimpinan Daerah
Sejatinya pemasaran politik adalah politisasi yang bertindak sebagai penjual dengan menawarkan gagasan, ide-ide kreatif, pemikiran solutif, integritas, loyalitas, kebenaran, kejujuran, keadilan, moralitas, dan konsistensinya berpihak kepada rakyat. Kemudian rakyat yang bertindak sebagai pembeli dengan menggunakan alat bayar suaranya dalam pemilu (Sipil Institut).

Pemasaran politik menurut Sipil Institut inilah yang menggemakan gaung pengesahan UU No. 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, Wakil Walikota dan Bupati serta wakil bupati telah menggema. Genderang perebutan zona publik berlangsung riuh berhubungan lurus dengan memperlihatkan kekuatan dana calon penguasa.

Secara umum ada 3 kelompok perebut kursi kekuasaan yaitu Incumbent atau yang kita sebut sebagai kepala daerah yang sedang menjabat, Politisi/Kader partai yang menduduki kursi legislatif dan yang ketiga calon independen. Kalau difokuskan kepada ketiga kelompok tersebut apapun strategi dan taktis politiknya, semuanya berikhwal atau berawal dari politik iklan.

Secara formal, metode kampanye yang diatur antara lain pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, iklan media massa cetak dan elektronik, rapat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye serta peraturan perundang-undangan.

Memang benar tidak ada larangan menguasai ruang publik selagi pendanaan berlebih. Politik iklan dan iklan politik merupakan satu kesatuan dengan tujuan membangun opini dan persepsi orang yang melihat atau membaca. Satu pihak memuat tampilan dilain sisi memperdayakan tampilan. Politik iklan dan iklan politik bisa dianalogikan kembar tapi beda.

Perbedaannya tipis antara tampilan dan isi akan tetapi menuai dampak yang sama. Keduanya memakan korban tak bersuara bernama zona publik. Nah, saat korbannya benda mati, maka makhluk hidup yang bersuara, suara yang lantang dari para pemantau dan akademisi.

Politik Alat Peraga
Incumbent memiliki teknis tersendiri dengan memperbanyak alat peraga kampanye tanpa terganggu aturan atribut kampanye. Sebaran atributnya pun tak bisa dielakkan di hadapan pandangan mata, hampir diseluruh lokasi terpampang baliho besar berfoto kandidat yang sedang menjabat. 

Alasan pemasangan baliho sebagai upaya promosi kesehatan dengan ber-KB, menjauhi narkoba, ajakan wisata dan himbauan menjaga kelestarian alam, peningkatan prestasi pendidikan serta ajakan berprilaku baik dan segala hal lainnya. Bahkan untuk seorang gubernur, puluhan balihonya menimbulkan keresahan rakyat terhadap pendanaan serta pembiayaan lamanya iklan.

Karna tidak ada makan siang gratis, istilah ini juga berlaku bagi pejabat yang berkuasa ditahun-tahun politik. Kontestan lain setali tiga uang tak mau kalah. Mari kita lihat di setiap jalan utama, jembatan, papan iklan, serta didepan kantor-kantor partau minimal ada baliho atau spanduk besar menghiasi ruang publik. Bahasa baliho dan spanduk mengutamakan ke-khas-an sang kandidat.

Gaya bahasanya pun beragam dengan mengunakan hasil survey oleh lembaga konsultan dalam membentuk mindset politik rakyat. Hasil survey ini yang mengarahkan kontestan (calon Penguasa daerah) memesan, mencetak dan memajang atribut politiknya. Bahkan ada juga yang menyerahkan semua persoalan teknis politik iklannya terhadap lebaga surey dan konsultan politik yang didanainya.
Efek negatif pemasangan alat peraga sebelum penetapan pasangan calon kepala daerah adalah menjamurnya sampah-sampah politik (baliho/spanduk/poster dan lain-lain). Machiavelli mengingatkan penulis beserta seluruh rakyat Indonesia bahwa setiap penguasa (politisi) harus pintar “hidup dalam kepura-puraan”. Pura-pura empati, bermoral, sopan, santun, bersih, dan berbudi, luhur.
Tiba-tiba murah senyum menebar pesona, tiba-tiba berbudi luhur menyapa setiap tetangga. Tiba-tiba empati suka menyumbang. Tiba-tiba menyantuni anak yatim piatu dan banyak lagi tiba-tiba yang membuat rakyat terkesima memanddang sosoknya.

Kembali ke ranah Minangkabau, khusus untuk perebutan Sumbar-1, sependapat atau tidak dengan machiavelli dan ruslan ismail mage, rakyat harus bisa membedakan mana bahasa politik dengan realitas kinerja politisi. Bahasa politik adalah context yang berisi ajakan bernada provokasi atau pengikat demi menjaga atau mengalihkan fokus rakyat untuk lebih mengenali calon pemimpin yang akan dipilih.

Sedangkan kinerja adalah hasil kerja yang komprehensif, menyeluruh serta jelas peruntungannya bagi kesejahteraan rakyat. Jika kita melihatnya kasat mata, bisa dihitung bahwa peminat kursi Sumbar-1 antara lain : Irwan Prayitno (PKS), Muslim Kasim, Hendra Irwan Rahim dan Shadiq Pasadiqi (ketiganya dari Golkar), Apyardi Asda dan Baharuddin (PPP), Fauzi Bahar dan Taslim (PAN) serta Alex Indra Lukman (PDI Perjuangan). Selain calon-calon penguasa sumbar tersebut masih ada yang lain dan kesemuanya berhak berpesta dalam demokrasi.

Permasalahan yang muncul jika setiap calon penguasa beserta politisi spanduk bersatu menyebarkan spanduk dan baliho. Sudah dapat dipastikan, habis lah ruang-ruang publik dihiasi foto para calon penguasa ini tanpa ada aturan pembatasan kampanye ke-pagi-an mereka. Maka patut lah kita mengingat-ingat pandangan machiavelli, agar rakyat bisa mengkalkulasi antara kampanye, pengalaman kandidat (track record) dan kepentingan masyarakat.

KPU dan Bawaslu pun hanya terlihat diam-diam saja tanpa menjelaskan kepada seluruh rakyat Indonesia terkait perebutan ruang publik oleh orang-orang yang belum pasti menjadi kontestan pemilihan kepala daerah. Seharusnya, KPU dan Bawaslu berinisiatif memuat aturan pembatasan atribut kampanye semenjak dini.

Jangan sampai seluruh ruang publik habis dihiasi atribut kampanye, baru punggawa demokrasi bergerak. Itu namanya rumah sudah jadi arang baru pemadam kebakaran datang. Jangan pula beban kan kepada pemerintah daerah, terlebih kepada kepolisian pamong praja, sudah barang tentu tidak bisa berbuat banyak. Pol PP hanya bisa menunggu instruksi apabila berniat membersihkan atribut kampanye yang kepagian ini.

Permasalahannya, siapkah Pol PP membersihkan ruang publik dari atribut penguasa yang sedang berkuasa? Mari kita tanyakan kepada rumput yang begoyang? Papan reklame yang tak bermulut? atau kepada tanah perkuburan yang hanya bisa berdiam diri?

Kembalilah ke Rakyat
Penulis perlu kiranya mengingatkan para calon penguasa agar tidak mengulang-ulang pemborosan kampanye. Media kampanye dengan pemasangan alat peraga dengan ukuran, bentuk, muatan serta sebarannya memang menjadi hak mereka yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, masyarakat sekarang sudah cerdas untuk memilih pemimpinnya dengan mempertimbangkan kinerja dan peluang perbaikan daerah ke depan.

Rakyat sudah tidak memperdulikan banyaknya alat peraga walaupun itu masih dibutuhkan. Pengurangan alat peraga harus diimbangi dengan taktis lain. Hemat penulis, politisi baik itu incumbent kepala daerah maupun legislator atau politisi spanduk harus kembali ke asalnya “dari rakyat, demi rakyat dan untuk rakyat”. Reposisi calon penguasa kepada rakyat berbentuk jalinan silaturahmi. 

Hal ini memang bahagian dari Jokowi Effect dan itu masih berguna bahkan bermamfaat lebih daripada tebaran poster berukuran raksasa. Silaturahmi akan mengurangi jarak antara politisi spanduk dengan pemilik suara. Perhatian publik akan lebih terfokus kepada kandidat yang dekat secara hubungan emosional daripada calon penguasa yang heboh di tataran alat peraga kampanye.

Calon penguasa bisa melakukan strtategi door to door (DtD) atau self Multi Level Marketing (SMLM). DtD adalah teknis pengenalan diri, baik langsung maupun perantara tim pemenangan kepada rakyat. Sedangkan SMLM adalah strategi membangun jaringan pemasaran politik secara terorganisir melalui agent-agent kampanye berjenjang. Fokus target kampanye adalah bersua langsung orang perorang atau 1 keluarga (sesuai KK).

Dua hal ini, DtD maupun SMLM, memiliki nilai lebih dalam membangun opini dan persepsi orang perorang pemilik hak suara. Opini yang terbangun akan disebarkan secara terus menerus hingga membentuk opini publik. Bauran dan benturan opini publik lah yang dikemas calon penguasa dalam memperbaharui alat peraga demi menjaga konsistensi bangunan opini politik rakyat.

Di lain sisi, strategi ini akan mengurangi secara kuantitas baliho dan spanduk. Jika selama ini calon penguasa mengupayakan sebaran baliho dan spanduk di setiap kejorongan. Bayangkan jumlah kejorongan di sumatera barat hampir mencapai 3.700 jorong. Asumsi setiap calon penguasa mencetak dan memasang 1 baliho ditamah 1 spanduk, maka akan ada 7.400 alat peraga.

Itu baru satu calon penguasa tingkat provinsi yang bermain-main dengan dananya. Mari kita hitung jika mencapai 5 kandidat atau pasangan gubernur dan wakil gubernur. Maka jumlahnya spanduk dan baliho sebanyak 37.000 alat peraga. Sekarang dengan penguatan DtD maupun SMLM, walaupun tidak bisa menghilangkan perang atribut calon penguasa setidaknya meniminalisir jumlah dan sebarannya.

Bisa jadi, calon penguasa cukup memasang baliho atau spanduk di tingkat kecamatan. Daerah dimanapun di indonesia membutuhkan pemimpin yang humanis, komunikatif, santun dan bersahaja serta dekat dengan rakyat dan terlihat dalam jangkauan pandangan. Rakyat butuh pemimpin dari kalangan rakyat bukan politisi spanduk atau pejabat baliho. (*)

Andrian Habibi - Koordinator Relawan Pemantau di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sumatera Barat

0 komentar:

Posting Komentar