RANAH-RANTAU
Bila tak ada aral melintang, pada Desember 2015 ini di tiga belas kota/kabupaten di wilayah Sumatera Barat, bahkan termasuk untuk provinsi Sumbar sendiri akan dilangsungkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak.
Terkait hal tersebut, sudah sejak lama, hingga saat ini dan mungkin sampai dua bulan ke depan, kepada publik lewat berbagai media massa figur-figur yang dianggap layak untuk dijagokan memimpin daerah mulai disebut-sebut dan digadang-gadang namanya. Figur tersebut dari latar belakang yang beragam, baik dari kader dan pengurus partai, incumbhent maupun dari masyarakat umum yang secara sukarela diminta atau tidak mendaftarkan diri ke partai maupun melalui jalur independen untuk ikut dalam bursa Pilkada kabupaten/kota/provinsi.
Dalam kesempatan pulang kampung ke Payakumbuh/Limapuluh Kota beberapa hari yang lalu, sepanjang jalan Padang-Payakumbuh saya sempat menyaksikan beberapa baliho/spanduk figur calon peserta Pilkada mulai terpasang dengan tujuan tentu saja untuk sosialisasi diri. Dari beberapa baliho/spanduk tersebut pada umumnya yang terlihat adalah rigur-figur yang sudah dikenal akrab oleh masyarakat daerah ini. Sehingga menurut hemat saya adalah sesuatu pemubaziran dalam pemasangan baliho tersebut. Karena figur yang diperkenalkan adalah sosok yang semestinya sudah terkenal, terutama lewat karya yang telah diperbuatnya serta kedekatan dan kebersamaannya selama ini dengan masyarakat daerah yang dipimpinnya. Kalau sosialisasi tersebut masih dianggap perlu dan penting, pertanyaannya adalah, selama lima tahun ini bapak ngapain dan ke mana saja?
Hingga saat ini, masih jarang terdengar dan terlihat di Sumatera Barat ini figur dan “wajah baru” sebagai calon peserta Pilkada muncul, terlebih calon peserta Pilkada yang berasal dari rantau. Kita tidak tahu entah karena faktor apa? Boleh jadi karena berkembang opini orang rantau yang sekali-sekali pulang kampung tidak paham dan tidak mengerti persoalan kampung halamannya. Sehingga biarlah orang di kampung (di ranah) saja yang dianggap paling tahu dan mengerti kampung halaman yang maju mengikuti Pilkada.
Fenomena lain yang dirasa menghambat ikutnya orang rantau berpartisipasi sebagai peserta Pilkada di kampung halamannya adalah alasan bahwa figur dari rantau tersebut tidak dikenal atau belum popular namanya di tengah-tengah masyarakat jika dibandingkan dengan figur “wajah lama” yang kembali maju sebagai calon peserta Pilkada.
Faktor lainnya sebagai penyebab orang rantau enggan mengikuti Pilkada, kemungkinan disebabkan karena faktor materi. Orang-orang di kampung, terutama terkait dengan partai dan para pengusung akan mempertanyakan sejauh mana kekayaan orang rantau yang berkeinginan mengikuti Pilkada tersebut secara materi. Bila ia kaya raya, katakanlah sebagai pengusaha sukses di rantau, maka buru-buru “pinangannya” segera di terima, tapi jika dari segi materi terlihat biasa-biasa saja, bersahaja, maka harapannya untuk diusung sebagai calon peserta pilkada sepertinya sangat tipis.
Kemudian satu hal lagi yang membuat peluang orang rantau kecil untuk mengikuti pilkada di kampung halamannya adalah karena terdapatnya kecendrungan kandidat calon peserta pilkada yang diusung partai berasal dari internal partai sendiri. Alasannya klasik, karena partai telah memiliki kader, dan biasanya kader terbaik itu adalah mereka-mereka yang memegang posisi puncak di partai tersebut.
Terlepas dari kecilnya peluang orang rantau dalam mengikuti pilkada di kampung halamannya, baik di kota/kabupaten/provinsi, sebagaimana alasan dan kendala-kendala yang dikemukan di atas, ada beberapa hal yang patut kita kritisi terkait dengan orang rantau, khususnya dalam menghadapi pilkada yang akan datang.
Pertama. Bukankah sebagai orang Minang kita diajarkan pepatah yang berbunyi “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun”? Ungkapan nenek moyang tersebut mengisaratkan betapa penting dan berharganya posisi orang yang mau merantau, karena dengan merantau ia akan memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman hidup yang diperoleh di negeri orang untuk suatu saat dikembangkan di kampung halamannya. Jadi ketika mereka yang telah memiliki banyak pengalaman hidup tersebut, karena banyak bajalan banyak nan diliek, kemudian terhambat langkahnya untuk mengikuti pilkada dengan alasan tidak berdomisili di kampung dan tidak mengerti persoalan kampung halaman. Sesuatu yang amat disayangkan. Karena tak jarang meski hidup di rantau justru pengetahuannya tentang kampung halaman jauh melebihi mereka yang bermukim di kampung.
Kedua. Dari segi popularitas, sudah dapat dipastikan orang di kampung/ranah lebih dikenal ketimbang orang di rantau. Tapi persoalannya bukankah yang ingin kita pilih adalah figur kepala daerah yang mumpuni? Bukan sekedar popular? Oleh karena itu menurut hemat saya upaya mensosialisasikan atau mempopulerkan calon-calon dari rantau yang berkualitas tersebut, bukan semata menjadi tugas pribadi yang bersangkutan, tetapi juga menjadi tugas tokoh-tokoh masyarakat di daerah untuk meyakinkan masyarakatnya.
Ketiga. Orang rantau yang tujuannya merantau untuk berdagang atau jadi pengusaha, lumrah bila ia berhasil maka ia akan memiliki kekayaan dari segi materi. Namun bukan semua yang merantau dengan tujuan materi, tapi lebih pada pengabdian dengan berkerja di instansi pemerintah maupun swasta. Sehingga secara materi ia tidak kaya, namun secara pengalaman boleh jadi ia kaya, karena telah bertugas di banyak bidang dan tempat. Oleh karena itu kalau orang rantau dinilai dari sisi kekayaan materi saja yang didukung untuk maju sebagai calon peserta pilkada, mengabaikan kekayaan pengalaman, wawasan dan kepemimpinan yang dimiliki, hal ini sesuatu yang patut direnungkan dan dipertimbangkan ulang.
Keempat. Kita setuju setiap partai punya kader, dan pada umumnya kader-kader terbaiknya adalah para pemegang posisi penting di partai tersebut. Namun yang akan kita pilih saat ini kan kepala daerah; orang yang diharapkan dengan segala kemampuan yang dimilikinya dapat membawa kemajuan bagi kampung halaman atau daerah yang dipimpinnya. Bukan sekedar orang yang mampu menggerakkan partai, bukan sekedar mampu berwacana dan menganalisa persoalan di palanta.
Tapi orang yang mumpuni dan memiliki kapabelitas di bidang pemerintahan serta mampu menggerakkan masyarakat daerahnya bagi kemajuan yang lebih baik. Sehingga tidak menutup kemungkinan, bahkan boleh jadi figure-figur yang layak diusung sebagai peserta Pilkada tersebut justru banyak terdapat di luar partai dan adanya di rantau.
Tanpa bermaksud mengecilkan tokoh-tokoh daerah/ranah, dan membesarkan tokoh dari luar daerah/rantau, karena semuanya berpulang pada pribadi yang bersangkutan, akan tetapi yang ingin disampaikan di sini adalah, bahwa figur-figur pemimpin yang “boneh” tersebut bisa berasal dari ranah maupun dari rantau, dan masing-masing memiliki peluang yang sama untuk diusung sebagai kandidat calon kepala daerah. Namun agar kemajuan daerah dan masyakat cepat dicapai, idealnya potensi kepemimpinan ranah dan rantau tersebut disinergikan, dikawinkan satu sama lain saling melengkapi. Sehingga menjadi kekuatan besar untuk membawa perubahan dan pembangunan daerah serta masyarakat ke arah yang lebih baik dalam lima tahun mendatang. Bagaimanapun juga, ini hanyalah sebuah konsepsi untuk direnungkan, syukur-syukur bila mungkin untuk diwujudkan. ***
HIKMAT ISRAR(Kandidat Doktor Ilmu Sosial Kebijakan Publik)
0 komentar:
Posting Komentar