Menjelang ajang kompetisi dan kontestasi untuk memperebutkan posisi Sumbar satu, sepanjang yang saya perhatikan, sudah banyak prediksi, proyeksi, dan analisa-analisa elektoral yang muncul, baik di media-media Sumbar ataupun di dinding-dinding sosial media.
Namun sebelum Pilkada Sumbar mendadak menjadi ajang hitung-hitungan teknis seperti elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitas semata, ada baiknya kita segarkan kembali cara pandang kita bahwa pilkada bukan hanya soal siapa yang popular, siapa yang berpeluang besar, atau siapa yang bisa diterima secara mayoritas oleh khalayak pemilih di Sumbar.
Selain untuk mencari siapa yang akan melanjutkan estafet kepemimpian provinsial, apakah petahana atau aktor baru, tentu kita layak berharap bahwa yang akhirnya menjadi pemenang adalah juga sebagai solusi bagi berbagai persoalan yang didera Provinsi Sumbar selama ini, mulai dari urusan ekonomi makro provinsial, kesemerautan demokrasi politik lokal, lemahnya law enforcement, sampai pada masalah eksodus sumber daya manusia ke luar provinsi, dll.
Untuk bisa menjadi gubernur terpilih sekaligus menjadi solusi bagi Sumatra Barat, maka selayaknya proses pemilihan kepala daerah juga harus berjalan dalam fungsinya yang substantif alias bukan sekedar proses suksesi yang memenangkan yang populer dan akseptable (prosedural), tapi juga yang bisa menjawab seabrek persoalan yang sudah menunggu.
Dengan kata lain, Pilkada harus bisa menjadi ajang untuk menyisihkan yang tidak pantas, tidak layak, tidak baik, tidak berkarakter, dll, disatu sisi, dan bisa mendorong naik para tokoh yang teruji, yang sungguh-sungguh ingin membangun dan mengabdi, yang berintegritas baik,dan yang ber- track record bersih serta prestatif, dll, disisi lainya.
Merujuk pada dua fungsi utama pemilihan versi pakar pemilihan umum, Prof. Pippa Noris dari Kenedy School Of Government (Harvard School of Government), pemilihan, sebagaimana juga Pilkada, bukan hanya sebagai ajang untuk (1) menempatkan figur -figur terbaik ke kursi kepemimpinan strategis, baik lokal maupun nasional, tapi proses pemilihan juga harus (2) bisa menyingkirkan “para bajingan politik” keluar dari arena kontestasi. Beliau menyebutnya dengan istilah yang agak “brutal”, yakni ”to kick the rascals out” alias untuk menendang para bajingan keluar.
Kegagalan Pilkada dalam menjalankan dua fungsi utama ini sudah berbuah bukti yang menyakitkan, bukti yang merusak indahnya cita-cita dibalik diberlakukannya sistem pemilihan langsung. Menurut data Kemendagri, sampai Januari 2014, sebanyak 318 dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Secara detail, setidaknya yang terlibat korupsi tak kurang dari 291 kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten kota. Jumlah itu terdiri dari gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, walikota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang. Selain itu, sebanyak 1.221 nama pegawai pemerintah juga terlibat dalam kasus korupsi.
Dari jumlah itu, 877 orang diantaranya sudah menjadi terpidana. Sementara 185 orang lainya sudah berstatus tersangka, 112 lainya sudah menjadi terdakwa, dan 44 nama yang tersisa masih dimintai keterangan sebagai saksi.
Nah, bagaimana Sumbar harus mereaksi kemungkinan pahit ini? Maka dari itu, untuk mengetahui mana buruk dan mana yang bukan, tentu harus ada uji publik, jika perlu uji publikini dilangsungkan berkali-kali jauh hari sebelum kontestasi dimulai. Uji publik ini, selain berfungsi sebagai alat ukur integritas dan track record, semestinya juga berfungsi sebagai ajang uji material atas visi-misi sang kandidat dan uji kapabiliatas penyelesaian persoalan (problem solving capability) dari calon yang bersangkutan .
Artinya, para Kandidat harus memaparkan hasil pemetaan atau inventarisasi masalah di daerah dimana mereka akan berkontestasi, sebutlah misalnya Sumbar. Kemudian dari pemetaan inilah visi dan misi dilahirkan. Apakah visi dan misi ini akan menjadi solusi dikemudian hari atau malah akan menjadi persoalan baru, biarkan pemilih yang menentukan setelah melaluicounter-campaign dari para pakar dan elemen civil society lokal.
Mengapa demikian? Karena jika diperhatikan progress sampai hari ini di Sumbar, visi, misi, atau rencana kebijakan strategis dan teknis dibalik pencalonan seorang tokoh cendrung sangat kabur dan susah diukur. Entah dari mana asal rencana-rencana tersebut, tak ada yang begitu memahami kecuali sang tokoh itu sendiri. Oleh karena itu, alangkah baiknya uji public dimulai dengan paparan pemetaan masalah, kemudian baru masuk ke visi dan misi, lalu selanjutnya ke rencana-rencana kebijakan dan rencana-rencana teknis lainya.
Bahkan jika diperlukan, akan jauh baik dan mendidik jika setiap kandidat siap untuk menandatangani pakta integritas, misalnya dengan DPRD dan element-element masyarakat sipil daerah (kampus, elemen mahasiswa, Media, LSM, Ormas, Ornop, Lembaga Adat, dll) dengan sangksi-sangsi yang sama-sama bisa disepakati. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk parameter evaluasi paska terpilihnya sang tokoh. Masyarakat memiliki alat ukur yang valid dalam melakukan evaluasi dan memiliki basis advokasi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Masyarakat melalui elemen-elemen Civil Society daerah harus mulai memikirkan hal ini dan menggandeng parpol-parpol agar menerapkan penyaringan yang jelas jauh hari sebelum konstestasi dimulai. Parpol dan masyarakat sipil sejatinya tidak hanya berpatokan pada persentase elektabilitas dan popularitas yang pada kadar tertentu bisa saja dimanipulasi, tapi juga harus berpatokan pada proyeksi-proyeksi kebaikan daerah di masa depan.
Uji public (public screening) seperti ini akan menularkan pendidikan demokrasi yang sangat baik sampai ke level akar rumput. Masyarakat pemilih akan belajar memilah-milah calon berdasarkan parameter yang jamak, tidak hanya parameter track record dan personal integrity, tapi juga parameter proyektif dan imaginatif yang akan membawa semua pemilih ke arena kritis dengan pertanyaan-pertanyaan futuristik yang rasional. Masyarakat akan gigih mencari informasi-informasi penting soal visi-misi, rencana kebijakan, dan rencana-rencana aksi sang tokoh paska terpilih nanti dan mencari keterkaitan semua rencana kebijakan tersebut dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya dikemudian hari.
Point terakhir dari saya, jika pilkada ini bisa dijadikan ajang untuk melahirkan calon-calon yang berintegritas tinggi, dengan track record kinclong, sekaligus memiliki rencana kerja yang terukur dengan landasan pemetaan masalah yang juga sangat empirik dan realistis, maka tidak ada alasan bagi kita sebagai masyarakat Sumbar untuk membiarkan moment pilkada ini berlangsung sebagai sebuah rutinitas prosedural semata, tidak ada alasan untuk membiarkan pilkada ini hanya sebagai “business as usual”, lalu setelah itu kembali “adem ayem” tanpa ada ikatan moral dan intelektual dengan para pemilih. Jangan sampai muncul kesan bahwa pilkada ini hanya “rame’ di awal, ribut dan kasak kusuk saat menjelang pemilihan, lalu utak-atik peluang dan eletabilitas, namun terlupa dengan solusi kongkret atas masalah-masalah pokok yang sudah mendera Sumbar sedari dulu. Semoga (*)
RONNY P. SASMITA(Pemerhati Sosial Politik
0 komentar:
Posting Komentar