AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

Kamis, 14 Mei 2015

MENGGAGAS PILKADA YANG MENCERDASKAN


Menjelang ajang kompetisi  dan kon­testasi untuk mem­perebutkan  posisi Sumbar satu, sepanjang yang saya perhatikan, sudah banyak prediksi, proyeksi, dan ana­lisa-analisa elektoral yang muncul, baik di media-media Sumbar ataupun di dinding-dinding sosial media.

Namun sebelum Pilkada Sumbar mendadak menjadi ajang hitung-hitungan teknis seperti elektabilitas, po­pu­laritas, dan akseptabilitas se­mata, ada baiknya kita se­garkan kembali cara pandang kita bahwa pilkada bukan hanya  soal siapa yang popular, siapa yang berpeluang besar, atau siapa yang bisa diterima secara mayoritas oleh kha­layak pemilih di Sumbar.

Selain untuk mencari siapa yang akan melanjutkan estafet kepemimpian provinsial, apa­kah petahana atau aktor baru, tentu kita layak  berharap bahwa yang akhirnya menjadi pemenang adalah  juga se­bagai solusi bagi berbagai persoalan yang  didera Pro­vinsi Sumbar selama ini, mulai dari urusan ekonomi makro provinsial, kesemerautan de­mokrasi politik lokal, lemah­nya law enforcement, sampai pada masalah eksodus sumber daya manusia ke luar provinsi, dll.

Untuk bisa menjadi guber­nur terpilih sekaligus menjadi solusi bagi  Sumatra Barat, maka selayaknya proses pe­milihan kepala daerah juga harus berjalan dalam fungsinya yang substantif alias bukan sekedar proses suksesi yang memenangkan yang populer dan akseptable (prosedural), tapi juga yang bisa menjawab seabrek persoalan yang sudah menunggu.

Dengan kata lain, Pilkada harus bisa menjadi ajang untuk menyisihkan yang tidak pan­tas, tidak layak, tidak baik, tidak berkarakter, dll, disatu sisi,  dan  bisa mendorong naik para tokoh yang teruji, yang sungguh-sungguh ingin membangun dan mengabdi, yang berintegritas baik,dan yang ber- track record bersih serta prestatif, dll, disisi lainya.

Merujuk pada dua fungsi utama pemilihan versi pakar pemilihan umum, Prof. Pippa Noris dari Kenedy School Of Government (Harvard School of Government),  pemilihan, sebagaimana juga Pilkada, bukan hanya sebagai ajang untuk (1) menempatkan figur -figur terbaik ke kursi kepe­mimpinan strategis, baik lokal maupun  nasional, tapi proses pemilihan juga harus (2) bisa menyingkirkan “para bajingan politik” keluar  dari arena kontestasi. Beliau menye­but­nya dengan istilah yang agak “brutal”, yakni  ”to kick the rascals out” alias untuk menendang para ba­jingan keluar.

Kegagalan Pilkada dalam menjalankan dua fungsi utama ini sudah berbuah bukti yang menyakitkan, bukti yang me­rusak indahnya cita-cita diba­lik diberlakukannya sistem pemilihan langsung. Menurut data Kemendagri, sampai Ja­nuari 2014, sebanyak 318 dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Secara detail, seti­daknya yang terlibat korupsi tak kurang dari 291 kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten kota. Jumlah itu terdiri dari gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, walikota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang. Selain itu, sebanyak 1.221 nama pegawai peme­rintah juga terlibat dalam kasus korupsi.  
Dari jumlah itu, 877 orang diantaranya sudah men­jadi terpidana. Sementara 185 orang lainya sudah berstatus tersangka, 112 lainya sudah menjadi terdakwa, dan 44 nama yang  tersisa masih dimintai keterangan sebagai saksi.

Nah, bagaimana Sumbar harus mereaksi kemungkinan pahit ini? Maka dari itu,  un­tuk mengetahui mana buruk dan mana yang bukan, tentu harus ada uji publik, jika perlu uji publikini dilangsungkan berkali-kali  jauh hari sebe­lum kontestasi dimulai. Uji publik ini, selain berfungsi sebagai alat ukur integritas dan track record, semestinya juga berfungsi sebagai ajang uji material atas visi-misi sang kandidat dan uji kapabiliatas penyelesaian persoalan (pro­blem solving capability) dari calon yang bersangkutan .

Artinya, para Kandidat  harus memaparkan hasil pemetaan atau inventarisasi masalah di daerah dimana mereka akan berkontestasi, sebutlah misalnya Sumbar. Kemudian dari pemetaan ini­lah visi dan misi dilahirkan. Apakah visi dan misi ini akan menjadi solusi dikemudian hari atau malah akan menjadi persoalan baru, biarkan pe­milih yang menentukan setelah melaluicounter-cam­paign dari para pakar dan elemen civil society lokal.

Mengapa demikian? Kare­na jika diperhatikan progress sampai hari ini di Sumbar, visi, misi, atau rencana kebijakan strategis dan teknis dibalik pencalonan seorang  tokoh  cendrung  sangat kabur dan susah diukur. Entah dari mana asal rencana-rencana tersebut, tak ada yang begitu memahami kecuali sang tokoh itu sendiri. Oleh karena itu, alangkah baiknya uji public dimulai dengan paparan pemetaan masalah, kemudian baru ma­suk ke visi dan misi, lalu selan­jutnya ke rencana-ren­cana kebijakan dan rencana-ren­cana teknis lainya.

Bahkan jika diperlukan, akan jauh baik dan mendidik  jika setiap kandidat  siap untuk menandatangani pakta integritas, misalnya dengan DPRD dan  element-element masyarakat sipil daerah (kam­pus, elemen mahasiswa, Me­dia, LSM, Ormas, Ornop, Lembaga Adat, dll)  dengan sangksi-sangsi yang sama-sama bisa disepakati. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk para­meter evaluasi  paska terpi­lihnya sang tokoh. Masyarakat memiliki alat ukur yang  valid dalam melakukan evaluasi dan memiliki basis advokasi yang bisa dipertanggung jawabkan.

Ma­syarakat melalui ele­men-elemen Civil So­cie­ty daerah harus mulai me­mi­kirkan hal ini dan me­nggan­deng parpol-parpol agar  me­nerapkan penyaringan yang jelas jauh hari sebelum kons­testasi dimulai. Parpol dan masyarakat sipil sejatinya tidak hanya berpatokan pada per­sen­tase elektabilitas dan popu­laritas yang pada kadar tertentu bisa  saja dimanipulasi, tapi juga harus berpatokan pada proyeksi-proyeksi kebaikan daerah di masa depan.

Uji public (public screen­ing) seperti ini akan me­nular­kan pendidikan demo­krasi yang sangat baik sampai  ke level akar rumput. Masyarakat pemilih akan belajar memilah-milah calon berdasarkan para­meter yang  jamak, tidak hanya parameter track re­cord dan personal integrity, tapi juga parameter proyektif dan ima­ginatif  yang akan membawa semua pemilih ke arena kritis dengan pertanyaan-pertanyaan futuristik yang rasional. Ma­syarakat akan gigih mencari informasi-informasi penting soal visi-misi, rencana kebi­jakan, dan rencana-rencana aksi sang tokoh paska terpilih nanti dan mencari keterkaitan semua rencana kebijakan  ter­sebut dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya di­ke­mudian hari.

Point terakhir dari saya, jika pilkada ini bisa dijadikan  ajang  untuk melahirkan ca­lon-calon yang berintegritas tinggi, dengan  track re­cord kinclong, sekaligus memiliki rencana kerja yang terukur dengan landasan pemetaan masalah yang juga sangat em­pirik dan realistis, maka tidak ada alasan bagi kita sebagai masyarakat Sumbar untuk membiarkan moment pilkada ini berlangsung sebagai sebuah rutinitas prosedural semata, tidak ada alasan untuk mem­biarkan pilkada ini hanya seba­gai “business as usual”, lalu setelah itu kembali “adem ayem” tanpa ada ikatan moral dan intelektual dengan para pemilih. Jangan sampai mun­cul kesan bahwa pilkada ini hanya “rame’ di awal, ribut dan kasak kusuk saat menjelang pemilihan, lalu  utak-atik peluang dan eletabilitas, na­mun terlupa dengan solusi kong­kret  atas masalah-masa­lah pokok yang  sudah men­dera Sumbar sedari  dulu. Semoga (*)

RONNY P. SASMITA(Pemerhati Sosial Politik

0 komentar:

Posting Komentar