Dilema Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2015 dan UU KIP
Kehebohan
pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota
dan Wakil Walikota telah berlangsung. Setiap warga negara memiliki hak yang
sama untuk memilih dan dipilih, dalam hal pemilihan umum. Pengesahan UU No. 1
tahun 2015 menjawab berbagai pertanyaan yang muncul paska Perppu No. 1 tahun
2014 dikeluarkan.
Konsekuensi
politik, bagi orang yang memiliki kekuatan modal atau kader partai sudah
bersiap untuk mendaftar dan berjuang di pelbagai partai politik. Tujuan mereka
yang melamar partai politik adalah untuk diusung sebagai kandidat kepala
daerah. Spanduk, baliho dan media kampanye bakal calon telah memeriahi
lokasi-lokasi publik sebagai bentuk nyata kesiapan maju memimpin daerah 5 tahun
kedepan.
Bagi incunbent,
pemberitaan di media menjadi sarapan pagi pembaca yang memaknai sesuai dengan
pengalaman kerohanian dan politik komentator. KPU dalam upaya promosi
pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil
Walikota telah kalah satu langkah dari para peminat jabatan kepala daerah.
KPU masih asyik
dalam pemberitaan media dan membiarkan diskusi-diskusi terkait UU No. 1 tahun
2015 diselenggarakan oleh para civil sociaty. Kita bisa melihat KPU masih
disibukkan dengan perosalan anggaran, klarifikasi pemberitaan serta persiapan-persiapan
suksesi UU Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota
dan Wakil Walikota. Pendanaan masih diproses dengan teliti karna menggunakan
APBN 2015.
Kembali pada
Proses lamaran bakal calon kepada parpol yang seharusnya dilaksanakan Uji
Publik yang dalam revisi UU Pilkada telah dihapuskan. Logika yang ditawarkan
adalah uji publik berada dalam kewenangan partai, karena partai lah yang lebih
mengetahui sang calon dengan aturan-aturan kepartaian. Akan tetapi partai harus
menjelaskan mekanisme dan dasar logis dalam menetapkan calon yang diusung.
Sedangkan jika Uji
Publik tetap dijalankan sesuai amanah Perppu No. 1 tahun 2014, maka KPU harus
berjelas-jelas dengan kesiapan dan keterbukaan Uji Publik. Mekanisme Uji Publik
masih menjadi rahasia KPU RI dan belum membuka ruang kepastian dalam
pelaksanaannya. Teknis pemilihan Tim Uji Publik, hanya sebatas semangat
dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih baik.
Siapa orangnya,
apa kriteria dan kapasitas tim independen Uji Publik “terlihat" sebagai
keegoan dalam memaksakan regulasi. Kaca mata penulis, kali ini legislator
berhasil mengamankan suaranya di hadapan pemerintah. Sederhananya, Uji
Publik hanya berguna mengeluarkan sertifikat bahwa seseorang bisa dicalonkan
atau tidak.
Apabila partai
tetap mengusung calon tersebut, KPU tidak memiliki kuasa untuk menggagalkannya.
Penilaian tim penguji bisa jadi alat pelawan bagi peserta jika bisa dikuatkan
dalam sidang PTUN yang pada kahirnya memperlawa tahapan pemilihan Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.
Dilema lanjutan
terjadi saat seseorang ber-uang mengalahkan kader partai untuk maju dalam
pertarungan demokrasi 2015. Kita patut bertanya kepada partai politik dalam
menjalankan rekruitmen partai sebagai salah satu fungsinya. Kalau calon non
kader diusung dan didukung mati-matian, sama saja mengungkapkan bahwa
pendidikan politik oleh partai kepada kader tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Di lain sisi,
masyarakat hanya akan menerima hasil penetapan partai terhadap calon kepala
daerah yang akan diusung memeriahkan pesta demokrasi 2015. Alangkah baik,
partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi menganut nilai-nilai
keterbukaan informasi dengan cara menyampaikan atau mengumumkan semua kandidat
calon kepala daerah yang mendaftar ke partainya.
Setelah itu
menyampaikan tahapan yang harus dilalui oleh para pelamar partai untuk diusung
sekalugus materi aturan terkait sesuai AD ART Partai. Sebagai contoh: apakah
pelamar sesuai dengan kriteria partai politik? Apakah calon merupakan orang
umum atau kader? Bagaimana pengalaman calon dalam perpolitikan indonesia?
Sejauh mana calon menjawab permasalahan bangsa secara umum atau daerah secara
khususnya?
Partai politik
harus terbuka menjelaskan kesiapannya menghadapi pemilihan Gubernur, Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Penjelasan
ini bisa bersama media sebagai bentuk simbiosis mutualisme. Partai
mengurangi biasa promosi dalam memberitahukan aktifitasnya kepada para
pendukung idiologis dan media bisa mendapatkan berita ‘khusus’ tanpa harus
bersusah payah menemui punggawa partai yang sibuk.
Bank Data selama
proses suksesi kepala daerah harus bisa dikonsumsi oleh publik demi
transparansi pemimpin produk pilkada 2015. Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur,
Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang diasumsikan sukses 1
putaran harus menjamin kepala daerah yang sesuai dengan pilihan “Suara Tuhan”.
Mayoritas atau
minoritas “Suara Tuhan” tetap membuka peluang perbaikan daerah kedepan. Pakar politik
dan akademisi tetap berdebat untuk menemukan teori-teori ideal demokrasi
Indonesia. Cara ini akan menyenangkan hati para pengamat politik walau
belun tentu proses yang dilalui pelamar partai sesuai dengan keterbukaan
informasi partai sesuai amanah UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik.
Terbuka semenjak
penerimaan pendaftaran peminat jabatan kepala daerah, Tim Sukses dan
Pemenangan, kekuatan pendanaan baik dana calon maupun dana partai. Parpol
juga harus mempertimbangkan keterbukaan informasi kepada kader partai untuk
belajar mengikuti semua tahapan suksesor kepala daerah. Kedepan kader
parpol lah yang akan memimpin suatu daerah dengan bantuan koalisi.
Pendidikan politik
ini akan berperan besar dalam membesarkan partai sejalan memajukan demokrasi
Indonesia. Keterbukaan ini menjanjikan kemajuan demokrasi bahwa partai bersama
rakyat dalam mengusahakan dan mengupayakan pemimpin daerah yang sesuai dengan
kebutuhan daerah untuk maju dan sejahtera. (*)
Andrian Habibi - Beraktivitas di PBHI Sumatera Barat
0 komentar:
Posting Komentar