Sebagai umat Islam, meyakini bahwa kita adalah
manusia pilihan, umat terbaik di sepanjang zaman. Sebab Islam mengajarkan
kepada kita untuk menjadi makhluk yang berperan ganda, yaitu sebagai Abdun atau
hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Peran dan tugas manusia
sebagai khalifah menuntutnya untuk mampu mengelola, melestarikan, menguasai dan
memakmurkan alam ini.
Manusia harus mampu berinteraksi dengan sesamanya (hablun
minannas) dan alam sekitarnya (hablun minal ‘alam) secara harmonis. Allah pun
membekali manusia berbagai potensi untuk mampu berkuasa. Karena itu,
manusia memiliki hasrat ingin berkuasa. Namun tidak semua manusia mampu
menjalankan fungsinya sebagai khalifah secara baik, meskipun kekuasaan telah
ada di tangannya.
Tidak semua pemimpin terpilih di negeri ini mampu mengendalikan
kekuasaan sesuai dengan keridhaan-Nya. Untuk mewujudkan tugas dan peran
manusia sebagai khalifah, maka umat Islam butuh sosok pemimpin yang adil.
Salah satu profil pemimpin atau penguasa yang dikisahkan dalam
al-Quran adalah Nabi Daud a.s. Allah SWT memberikan peringatan kepada Nabi Daud
a.s. melalui firman-Nya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Qs.
Shaad/38: 26).
Melalui ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Daud a.s. untuk
memutuskan perkara secara adil. Sebab seorang pemimpin berhak untuk mengambil
kebijakan dan keputusan terkait dengan berbagai persoalan yang ada di bawah
kepemimpinannya. Demikian pula Nabi Daud a.s., suatu ketika pernah dihadapkan
pada persengketaan dua orang laki-laki yang menghadap padanya.
Maka sebagai seorang pemimpin, Allah memerintahkannya agar memutus
perkara secara adil. Keadilan itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, secara
objektif, apa adanya, tidak bertentangan dengan hukum Allah; bukan karena
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Di sisi lain, Allah melarang keras
para penguasa berkuasa dengan mengikuti hawa nafsu.
Memimpin dengan hawa nafsu akan melahirkan kebijakan yang hanya
berorientasi pada duniawi, mengedepankan materi, memilih kenikmatan sesaat,
mementingkan diri dan golongan, cenderung menghalalkan segala cara; hukum
mereka rekayasa, korupsi menjadi budaya, agama hanya pemanis
kata. Memperturutkan hawa nafsu menyebabkan seseorang kehilangan
kesadaran.
Dengan demikian ia akan kehilangan kontrol pribadi sehingga ia
tersesat dari jalan yang diridhai Allah. Apabila kesesatan itu telah
menyelubungi hati seseorang, ia lupa akan keyakinan yang melekat dalam hatinya
bahwa di atas kekuasaannya masih ada yang lebih berkuasa. Itulah sebabnya orang
yang memperturutkan hawa nafsu itu diancam dengan ancaman yang keras, mereka
akan rasakan deritanya di hari pembalasa.
Firman-Nya: … Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Qs.
Shaad/38: 26).
Azab itu bisa saja ditunjukkan Allah sebagiannya di dunia, dan
pasti mereka rasakan di akhirat. Tidak sedikit di antara pemimpin yang
memperturutkan hawa nafsunya itu berakhir dengan su’ul khatimah (akhir yang
buruk) di penghujung kepemimpinannya. Kebaikan yang selama ini dielu-elukan
terkubur dan berganti dengan bau busuk yang menyengat.
Allah bukakan aibnya di antara sesamanya. Namun, bagi mereka yang
konsisten menegakkan amanah, tentulah akan dimuliakan. Tetapi tidak ada
pula jaminan orang yang berjuang menegakkan kebenaran itu akan dipuji dan
dihormati orang dalam kehidupannya. Adakalanya kebijakan yang mengedepankan
keadilan dan kebenaran itu tidak populer bagi rakyatnya. Ia pun dihina dan
direndahkan.
Tentu hal itu tidaklah akhir yang buruk (su’ul khatimah) baginya.
Tak heran, ada pemimpin yang masa hidupnya dihina, tapi setelah ia tiada baru
dipuji dan disayangi. Lalu bagaimanakah caranya agar kita sebagai umat
Islam tampil sebagai umat terdepan dengan hadirnya para pemimpin yang
menjalankan tugasnya sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini?
Untuk memenuhi harapan itu, patut kita renungkan firman Allah SWT
dalam surat an-Nur/24 ayat 55: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka
mereka Itulah orang-orang yang fasik (Qs. an-Nur/24: 55).
Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT berjanji akan memberikan
kekuasaan kepada orang-orang yang beriman dan meneguhkan agama yang telah
diridhai-Nya kepada mereka. Paling tidak ada empat syarat yang harus dipenuhi,
yaitu: Pertama, teguhkan iman kepada Allah SWT. Iman kepada Allah tidak
sekedar keyakinan dalam hati, tetapi terintegrasi dalam setiap ucapan dan
tindakan.
Konsekuensi orang yang beriman adalah senantiasa merasakan bahwa
Allah SWT senantiasa mengawasinya, kapan dan di mana pun. Maka seorang pemimpin
yang beriman, tidak akan berani korupsi, melakukan kejahatan dan kezaliman,
karena ia yakin Allah senantiasa mengawasinya. Kata iman juga seakar
dengan kata aman dan amanah.
Setiap mukmin mesti berkontribusi mewujudkan rasa aman bagi
lingkungan sekitarnya lalu ia senantiasa memelihara sifat amanah setiap
menjalankan tugas sesuai dengan profesinya. Menjadi pemimpin itu banyak
godaan. Maka iman menjadi benteng dan perisai untuk menolak godaan negatif
itu. Kedua, gemar beramal saleh. Shaleh artinya baik, lawan katanya adalah
fasad, artinya berbuat kerusakan.
Orang yang beramal shaleh adalah orang yang tidak berbuat
kerusakan baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Amal shaleh merupakan suatu
pekerjaan yang produktif dan inovatif. Maka umat Islam harus giat bekerja
dimana pekerjaan itu bernilai positif. Amal saleh adalah perbuatan yang
bernilai kebaikan secara lahir dan batin. Jika lahirnya baik tetapi niatnya
buruk, tidaklah dinilai sebagai amal saleh, begitu sebaliknya.
Maka pemimpin yang diridhai adalah pemimpin yang melayani rakyat
dengan prinsip amal saleh. Bukan jadi pemimpin yang senang dilayani: ketika ia
hadir di tengah keramaian, ia ingin disambut berdiri, disalami dan dihormati;
dihidangkan dengan makanan lezat lalu menerima pemberian berupa uang atau benda
berharga lainnya.
Ketiga, giat beribadah kepada Allah SWT. Ibadah itu tidak saja
yang wajib, tetapi juga ibadah-ibadah sunnah. Setiap ibadah yang dilakukan
seorang pemimpin, akan menjadi terapi baginya untuk tetap istiqamah menjalankan
kepemimpinannya dengan adil dan benar. Karena itu, ibadah ritual yang dilakukan
akan membuat seseorang menjadi lebih berkualitas dalam kehidupannya.
Keempat, jangan menyekutukan Allah. Yang termasuk
menyekutukan-Nya, tidak hanya menyembah selain Allah, tetapi juga termasuk
menggantungkan harapan kepada selain-Nya. Jika hidup hanya berorientasi pada
jabatan dan/atau harta, maka jabatan dan harta itu bisa menjadi Tuhan
seseorang. Namun jika ia yakin bahwa ridha Allah sebagai tujuan hidup, maka tak
ada celah bagi seorang pemimpin untuk berbuat zalim.
Jika keempat hal itu bisa dilakukan, maka Allah akan mengangkat
umat ini menjadi penguasa yang mampu melakukan perubahan dari keterbelakangan
menuju negeri yang berkeadaban, dari bangsa yang dicekam kecemasan dan
ketakutan menjadi bangsa yang aman dan tenteram dalam ridha-Nya (Qs. an-Nur:
55).
Ini perlu kita upayakan, apalagi kita berada di negara yang
menerapkan sistem demokrasi, pemimpin lahir dari pilihan rakyat mayoritas. Jika
masing-masing dari kita sebagai bagian rakyat ini mayoritas menjadi umat yang
taat dan adil, tentulah kita memilih pemimpin yang taat dan adil pula. Hal
ini penting kita renungkan, mengingat di tahun 2015 ini akan dilakukan
Pemilukada di Sumatera Barat.
Semoga provinsi kita dipimpin oleh pemimpin yang diridhai Allah
SWT, seperti Nabi Daud a.s., yang adil dan tidak menurutkan hawa nafsunya.
Lebih mementingkan umat dari kepentingan pribadi dan golongan. Dengan begitu,
kekuasaan diberikan kepada kita sebagai umat terpilih, umat terbaik dalam
mewujudkan Baldatun Tayyibatun wa rabbun Ghafur. (*)
Muhammad Kosim - Alumnus
Program Doktor IAIN IB Padangkoran.padek
0 komentar:
Posting Komentar