Cara berpolitik di Minangkabau berpolitik santun.
Kalaupun ada cabik, cabiknya juga cabik-cabik bulu ayam, juga cabik-cabik
berdunsanak, ujungnya akan saling bermaafan dan berangkulan dalam kasaiyoan.
Bila mana massa
kita pukau dengan berbagai ragam pencitraan dalam niat yang hanya sekadar
pencitraan, lalu karena pencitraan yang sistematis dan masif itu tadi mampu
memikat masyarakat sehingga menghantarkan kita pada tahta kekuasaan dan
kemudian tak mampu menjalankan amanah tersebut, maka siaplah untuk sebuah
pertanggungjawaban akhirat dari mahkamah Yang Maha Kuasa.
Politik pencitraan
sangat menguntungkan dan melapangkan jalan untuk meraih kekuasaan tapi sangat
kelat dalam kenyataan. Tidak masanya kita melemparkan mimpi muluk atau mimpi
manis pada masyarakat sendiri. Masa kini adalah masa di mana kita memberi dan
memenuhi apa yang dibutuhkan masyarakat, bukan apa yang kita inginkan.
Masyarakat harus kita cerdaskan dan kita jauhkan dari bujukan-bujukan
pencitraan belaka.
Membuai masyarakat
dengan pencitraan, lalu mengharapkan dukungan masyarakat kemudian ketika apa
yang dikehendaki tercapai, mereka dilupakan adalah sebuah sikap dzalim yang
dimurkai Allah. Orang bijak tak akan pernah “menokok”. Apa yang sudah ia
lakukan, apa yang akan ia lakukan, atau apa yang seolah-olah ia lakukan,
kemudian diumbar-umbar kembali untuk meminta balasan, bukan sikap yang baik.
Pemimpin yang baik
adalah pemimpin yang melupakan segala kebaikannya kepada rakyat namun rakyat
tak pernah melupakan kebaikan pemimpinnya sepanjang masa. Ia melegenda di ruang
pikiran massa yang dicatat oleh masa dengan tinta emas kepemimpinannya. Ia
menjadi seorang legend yang dikenang.
Rakyat pantas
mengungkapkan kebaikan dan keburukan pemimpin; karena mereka yang langsung
merasakan nikmat dari kebijakan pemimpin. Namun, jika pepimpin mengungkapkan
kebaikannya sendiri di hadapan rakyat, maka hal itu cendrung bermuatan
pencitraan dan “menokok” segala perbuatannya pada rakyat. Menokok atau menuntut
balas atas segala perbuatan baik yang kita lakukan adalah sebuah pertanda
ketakikhlasan.
Kasihan rakyat,
bila terlalu sering dibujuk dan dirayu untuk sebuah tahta dunia diri. Kasihan
rakyat bila terlalu sering dipertontonkan berbagai ‘ gambar’ kebohongan.
Politik
itu untuk dunia, politik itu untuk akhirat!
Politik itu amal
ibadah yang baik. Mana bisa kita berharap melakukan bebagai kebaikan ke depan
bila diawali dengan cara-cara yang tidak baik. Sesuatu yang diawali atau
sesuatu yang diperoleh dengan cara yang buruk, dengan cara yang menyakiti,
niscaya akan berujung bala petaka. Kekuasaan itu penting dan perlu.
Tanpa adanya
kekuasaan, kekuatan kebenaran tidak akan pernah mencapai titik optimal.
Optimalisasi kebenaran itu berada pada “kekuasaan”. Panggung politik, pentas
politik, arena politik, adalah jembatan untuk menghantarkan kita pada cita-cita
bersama; yakni meraih kekuasaan untuk jihad kebenaran. Tapi, kunci
“kebenaran” itu adalah bagaimana cara kita “berjalan” meniti jembatan hingga
sampai ke seberang, apakah dilakukan dengan cara yang benar pula?
Apakah dalam
perjalanan itu, kita melakukan penungkaian, penyikutan, mencaci maki,
menghujat, memfitnah, sehingga para pejalan-pejalan lain terhenti di depan
jembatan, sehingga kita sampai sendiri berkat melakukan berbagai cara yang
curang, penuh penistaan dan terkekeh-kekeh puas menyaksikan kejatuhan “orang
lain”.
Niscaya, kekuasaan
yang diperoleh dengan cara tidak baik, tak akan pernah diridhoi Tuhan.
Yakinlah. Ia akan menjadi pemimpin yang curang, sahabatnya adalah
kekeliruan-kekeliruan. Ia tak akan pernah menjadi pemimpin umat, kecuali ia
hanya akan menjadi pemimpin bagi golongannya sendiri. Golongan yang mendukung
kecurang-kecurangan yang menghalalkan berbagai cara; cara apa saja, yang
penting kekuasaan dalam genggaman.
Hal demikian
bukanlah cara berpolitik yang islami. Untuak syiar kebaikan, cara berpolitik
kita adalah berpolitik santun,cerdas, dan sejuk di hati orang banyak. Aura-aura
berpolitik kita adalah “menyaru” aura positif.Bukan negatif. Tak akan pernah
sesuatu yang dimulai dengan negatif akan bermuara pada sesuatu yang positif.
Politik
Minangkabau
Kita orang
Minangkabau adalah orang yang mengarifi alam. Bagi kita, alam takambang menjadi
guru. Ia cermin atas kekuasaan dan kekuatan Allah SWT. Amatilah alam, maka
cinta dan kagummu pada Tuhan akan semakin tinggi dan tebal. Mengamati keindahan
alam adalah salah satu cara meningkatkan nilai-nilai ketaqwaan.
Ketika orang
minang menyepakati “alam takambang menjadi guru” membuat nagari ini menjadi
negeri yang berselimut aura positif yang melahirkan kalimat “lawik sati rantau
batuah”.
Alam takambang
jadi guru, lawik sati rantau batuah, saciok bak ayam sadanciang bak basi, indak
adoh kusuik nan indak salasai, tasilang di sangketo-rundiang tampek baiyo-iyo,
batuah saiyo dek sakato basipakaik dalam adaik basandi sayarak-syarak basandi
Kitabullah adalah karakteristik alam yang mempengaruhi karakteristik
Minangkabau nan tacinto.
Makanya, apapun
jenis dan “persaingan dan bentuk pertandingan” di Minangkabau adalah persaingan
yang berasaskan rasa berdunsanak bukan rasa “sakit hati” dan “dendam” kesumat
yang menghancurkan. Bukan begitu. Sesama Muslim kita adalah bersaudara.
Berat untuk menyakiti hati sesama muslim. Kalau pun ada di antara kita, sesama
muslim yang kita rasa “khilaf” atau lupa, kewajiban bagi kita untuk
mengingatkannya.
Islam dan
Minangkabau, sulit dipisahkan. Tidak diakui seseorang sebagai orang Minang,
kalau dia bukan seorang Muslim. Kalau dia murtad, dia dibuang sepanjang adat,
begitulah komitmet Perjanjian Marapalam atas konsekwensi Adaik Basandi
Syarak-syarak Basandi Kitabullah!”. Cara berpolitik di Minangkabau
berpolitik santun.
Kalaupun ada
cabik, cabiknya juga cabik-cabik bulu ayam, juga cabik-cabik berdunsanak,
ujungnya akan saling bermaafan dan berangkulan dalam kasaiyoan. Urang
Minang tabu melakukan cara politik mambalah buluah. Ciek dipijak, nan ciek
diangkek. Saya kecewa. Sangat kecewa. Ketika ada trend politik perbandingan
yang melukai saudara sendiri.
Itu jauh dari
cara-cara orang Islam dan orang Minang berpolitik. Seakan-akan ada upaya, yang
diawak rancak, nan di urang buruk. Gaya berpolitik belah bambu, atau
politik memudurkan lampu orang untuk memperterang lampu sendiri adalah gaya
politik yang sangat tidak “islamis” dan sangat tidak “Minangkabauisme”. Itu
melukai hati orang lain.
Kalau akan
berupaya melakukan apapun bentuk pencitraan selalulah berpegang teguh pada “
tarangkan sajo lampu awak-lampu urang jan dimatikan atau jan
dipudurkan!”. Orang Minangkabau adalah orang pintar, orang cerdik, orang
hebat. Namun, pintarnya kita jangan pintar melukai. Cerdiknya kita jangan
cerdik membohongi. Hebatnya kita, jangan hebat mempermalukan atau menhina atau
memfitnah dunsanak surang.
Ketika kita
apungkan sesuatu yang memberi luka, sesuatu yang beraroma fitnah, hasutan, dan
lain-lain yang buruk, itu akan memicu munculnya aura negatif. Kalau aura
negatif dilawan dengan aura negatif pula, yang akan lahir adalah kegaduhan yang
berkerat rotan. Mencari, memunculkan, meniupkan, menghasut, menciptakan,
menghimpun opini negatif, itu sangat sepele. Kalau bagi saya, itu sampah dan
debu.
Sekali tiup, debu
di atas tunggul itu lenyap dan berderai di udara. Dengan kasih sayang, dan atas
izin Allah, debu itu lenyap dan terbakar bersama setan-setannya. Yakinilah. (*)
Muslim Kasim - Wakil Gubernur Sumatera Barat
0 komentar:
Posting Komentar