AWAK BADUNSANAK, NDAN!!!

Senin, 25 Mei 2015

Muslim Kasim : Politik Itu Ibadah


Cara berpolitik di Minangkabau berpolitik santun. Kalaupun ada cabik, cabiknya juga cabik-cabik bulu ayam, juga cabik-cabik berdunsanak, ujungnya akan saling bermaafan dan berangkulan dalam kasaiyoan.
Bila mana massa kita pukau dengan berbagai ragam pencitraan dalam niat yang hanya sekadar pencitraan, lalu karena pencitraan yang sistematis dan masif itu tadi mampu memikat masyarakat sehingga menghantarkan kita pada tahta kekuasaan dan kemudian tak mampu menjalankan amanah tersebut, maka siaplah untuk sebuah pertanggungjawaban akhirat dari mahkamah Yang Maha Kuasa.
Politik pencitraan sangat menguntungkan dan melapangkan jalan untuk meraih kekuasaan tapi sangat kelat dalam kenyataan. Tidak masanya kita melemparkan mimpi muluk atau mimpi manis pada masyarakat sendiri. Masa kini adalah masa di mana kita memberi dan memenuhi apa yang dibutuhkan masyarakat, bukan apa yang kita inginkan. Masyarakat harus kita cerdaskan dan kita jauhkan dari bujukan-bujukan pencitraan belaka.
Membuai masyarakat dengan pencitraan, lalu mengharapkan dukungan masyarakat kemudian ketika apa yang dikehendaki tercapai, mereka dilupakan adalah sebuah sikap dzalim yang dimurkai Allah. Orang bijak tak akan pernah “menokok”. Apa yang sudah ia lakukan, apa yang akan ia lakukan, atau apa yang seolah-olah ia lakukan, kemudian diumbar-umbar kembali untuk meminta balasan, bukan sikap yang baik.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang melupakan segala kebaikannya kepada rakyat namun rakyat tak pernah melupakan kebaikan pemimpinnya sepanjang masa. Ia melegenda di ruang pikiran massa yang dicatat oleh masa dengan tinta emas kepemimpinannya. Ia menjadi seorang legend yang dikenang.
Rakyat pantas mengungkapkan kebaikan dan keburukan pemimpin; karena mereka yang langsung merasakan nikmat dari kebijakan pemimpin. Namun, jika pepimpin mengungkapkan kebaikannya sendiri di hadapan rakyat, maka hal itu cendrung bermuatan pencitraan dan “menokok” segala perbuatannya pada rakyat. Menokok atau menuntut balas atas segala perbuatan baik yang kita lakukan adalah sebuah pertanda ketakikhlasan.
Kasihan rakyat, bila terlalu sering dibujuk dan dirayu untuk sebuah tahta dunia diri. Kasihan rakyat bila terlalu sering dipertontonkan berbagai ‘ gambar’ kebohongan.
Politik itu untuk dunia, politik itu untuk akhirat!
Politik itu amal ibadah yang baik. Mana bisa kita berharap melakukan bebagai kebaikan ke depan bila diawali dengan cara-cara yang tidak baik. Sesuatu yang diawali atau sesuatu yang diperoleh dengan cara yang buruk, dengan cara yang menyakiti, niscaya akan berujung bala petaka. Kekuasaan itu penting dan perlu.
Tanpa adanya kekuasaan, kekuatan kebenaran tidak akan pernah mencapai titik optimal. Optimalisasi kebenaran itu berada pada “kekuasaan”. Panggung politik, pentas politik, arena politik, adalah jembatan untuk menghantarkan kita pada cita-cita bersama; yakni meraih kekuasaan untuk jihad kebenaran. Tapi, kunci “kebenaran” itu adalah bagaimana cara kita “berjalan” meniti jembatan hingga sampai ke seberang, apakah dilakukan dengan cara yang benar pula?
Apakah dalam perjalanan itu, kita melakukan penungkaian, penyikutan, mencaci maki, menghujat, memfitnah, sehingga para pejalan-pejalan lain terhenti di depan jembatan, sehingga kita sampai sendiri berkat melakukan berbagai cara yang curang, penuh penistaan dan terkekeh-kekeh puas menyaksikan kejatuhan “orang lain”.
Niscaya, kekuasaan yang diperoleh dengan cara tidak baik, tak akan pernah diridhoi Tuhan. Yakinlah. Ia akan menjadi pemimpin yang curang, sahabatnya adalah kekeliruan-kekeliruan. Ia tak akan pernah menjadi pemimpin umat, kecuali ia hanya akan menjadi pemimpin bagi golongannya sendiri. Golongan yang mendukung kecurang-kecurangan yang menghalalkan berbagai cara; cara apa saja, yang penting kekuasaan dalam genggaman.
Hal demikian bukanlah cara berpolitik yang islami. Untuak syiar kebaikan, cara berpolitik kita adalah berpolitik santun,cerdas, dan sejuk di hati orang banyak. Aura-aura berpolitik kita adalah “menyaru” aura positif.Bukan negatif. Tak akan pernah sesuatu yang dimulai dengan negatif akan bermuara pada sesuatu yang positif.
Politik Minangkabau
Kita orang Minangkabau adalah orang yang mengarifi alam. Bagi kita, alam takambang menjadi guru. Ia cermin atas kekuasaan dan kekuatan Allah SWT. Amatilah alam, maka cinta dan kagummu pada Tuhan akan semakin tinggi dan tebal. Mengamati keindahan alam adalah salah satu cara meningkatkan nilai-nilai ketaqwaan.
Ketika orang minang menyepakati “alam takambang menjadi guru” membuat nagari ini menjadi negeri yang berselimut aura positif yang melahirkan kalimat “lawik sati rantau batuah”. 
Alam takambang jadi guru, lawik sati rantau batuah, saciok bak ayam sadanciang bak basi, indak adoh kusuik nan indak salasai, tasilang di sangketo-rundiang tampek baiyo-iyo, batuah saiyo dek sakato basipakaik dalam adaik basandi sayarak-syarak basandi Kitabullah adalah karakteristik alam yang mempengaruhi karakteristik Minangkabau nan tacinto.
Makanya, apapun jenis dan “persaingan dan bentuk pertandingan” di Minangkabau adalah persaingan yang berasaskan rasa berdunsanak bukan rasa “sakit hati” dan “dendam” kesumat yang menghancurkan. Bukan begitu. Sesama Muslim kita adalah bersaudara. Berat untuk menyakiti hati sesama muslim. Kalau pun ada di antara kita, sesama muslim yang kita rasa “khilaf” atau lupa, kewajiban bagi kita untuk mengingatkannya.
Islam dan Minangkabau, sulit dipisahkan. Tidak diakui seseorang sebagai orang Minang, kalau dia bukan seorang Muslim. Kalau dia murtad, dia dibuang sepanjang adat, begitulah komitmet Perjanjian Marapalam atas konsekwensi  Adaik Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah!”. Cara berpolitik di Minangkabau berpolitik santun.
Kalaupun ada cabik, cabiknya juga cabik-cabik bulu ayam, juga cabik-cabik berdunsanak, ujungnya akan saling bermaafan dan berangkulan dalam kasaiyoan. Urang Minang tabu melakukan cara politik mambalah buluah. Ciek dipijak, nan ciek diangkek. Saya kecewa. Sangat kecewa. Ketika ada trend politik perbandingan yang melukai saudara sendiri.
Itu jauh dari cara-cara orang Islam dan orang Minang berpolitik. Seakan-akan ada upaya, yang diawak rancak, nan di urang buruk. Gaya berpolitik belah bambu, atau politik memudurkan lampu orang untuk memperterang lampu sendiri adalah gaya politik yang sangat tidak “islamis” dan sangat tidak “Minangkabauisme”. Itu melukai hati orang lain.
Kalau akan berupaya melakukan apapun bentuk pencitraan selalulah berpegang teguh pada “ tarangkan sajo lampu awak-lampu urang jan dimatikan atau jan dipudurkan!”. Orang Minangkabau adalah orang pintar, orang cerdik, orang hebat. Namun, pintarnya kita jangan pintar melukai. Cerdiknya kita jangan cerdik membohongi. Hebatnya kita, jangan hebat mempermalukan atau menhina atau memfitnah dunsanak surang.
Ketika kita apungkan sesuatu yang memberi luka, sesuatu yang beraroma fitnah, hasutan, dan lain-lain yang buruk, itu akan memicu munculnya aura negatif. Kalau aura negatif dilawan dengan aura negatif pula, yang akan lahir adalah kegaduhan yang berkerat rotan. Mencari, memunculkan, meniupkan, menghasut, menciptakan, menghimpun opini negatif, itu sangat sepele. Kalau bagi saya, itu sampah dan debu.
Sekali tiup, debu di atas tunggul itu lenyap dan berderai di udara. Dengan kasih sayang, dan atas izin Allah, debu itu lenyap dan terbakar bersama setan-setannya. Yakinilah. (*)
Muslim Kasim - Wakil Gubernur Sumatera Barat

0 komentar:

Posting Komentar