Minggu, 17 Mei 2015
Peluang Memperoleh Kepala Daerah Terbaik
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tak terasa tahapan-tahapan Pilkada akan segera dilalui oleh 13 daerah di Sumatera Barat dan 541 daerah otonomi di Indonesia yang akan melaksanakan Pilkada serentak sesuai aturan main yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Situasi politik di daerah yang semula terkesan “adem ayem” mulai sedikit menghangat. Mereka yang sudah lama menaruh hasrat dan keinginan ikut serta Pilkada, namun selama ini terkesan malu-malu mensosialisasikan diri akibat terkendala oleh sistim yang berlaku selama ini, mulai unjuk diri, berbondong-bondong mendaftarkan diri ke partai peserta Pilkada. Adanya aturan baru Pilkada telah memberi secercah harapan bagi munculnya tokoh-tokoh wajah baru sebagai figur calon peserta Pilkada.
Bila pada Pilkada yang lalu-lalu, calon peserta dari awal-awal telah menyerah karena kepadanya akan dibebani biaya kompanye yang tidak ringan, maka sekarang biaya itu telah ditanggung oleh Pemerintah. Bila selama ini peluang peserta Pilkada lebih banyak dari kalangan keluarga petahana, maka sekarang keluaga kepala daerah yang menjabat dan mau berakhir masa jabatannya segaris ke atas maupun ke samping sudah tidak diperkenankan lagi ikut serta Pilkada, kecuali menunggu lima tahun lagi. Oleh karena itu terbuka peluang dan kesempatan bagi calon-calon “wajah baru” yang berkualitas untuk maju dalam Pilkada Serentak 9 Desember 2015 mendatang.
Namun masih ada yang mengganjal dan menjadi persoalan, yang membuat figure-figur “wajah baru” calon peserta Pilkada yang memiliki potensi besar dalam merobah daerah ke arah yang lebih maju tersebut kemudian berguguran di perjalanan. Pertama, karena masih terdapatnya kecendrungan di partai politik, bahwa kader terbaik partai adalah pimpinan partai, dan merupakan figure yang paling pas untuk menjadi kepala daerah, meskipun sudah dibuktikan bahwa dalil ini sudah tidak relevan lagi dipertahankan, karena Presiden Jokowi, dan beberapa kepala daerah yang sukses dan populer saat itu ternyata bukanlah dari pimpinan partai, tapi diusung oleh partai karena melihat potensi yang dimiliki oleh individu tersebut dalam memimpin daerah.
Kedua, peluang memperoleh figure calon kepada daerah yang berkualitas tersebut juga akan sirna, bilamana figure-figur “wajah baru” yang potensial tersebut disuguhkan oleh partai politik “mahar politik” atau “alas tapak” yang tidak wajar karena saking tingginya. Pengalaman buruk masa lalu telah mengajarkan kita bagaimana kemudian kepala daerah terpilih tidak lagi serius untuk memajukan daerahnya, tapi berorientasi mengembalikan “biaya politik” yang telah dikeluarkan. Akibatnya kondisi daerah semakin terpuruk dan kepala daerah itu sendiri kemudian banyak tersangkut perkara korupsi yang berujung di meja hijau dan penjara.
Disadari, partai politik adalah penentu penuh calon kepala daerah tanpa bisa diintervensi oleh siapa pun. Oleh karena itu kesadaran dan hati nurani pimpinan partai politik dalam menetapkan siapa yang akan mereka usung dalam Pilkada Serentak ini sangatlah penting dalam membawa perubahan Pilkada ke arah yang lebih baik. Diperlukan adanya jiwa besar dan keikhlasan dari pimpinan partai politik di daerah untuk menahan diri tidak maju, bilamana memang dalam realitanya ada figur lain di luar partai yang lebih baik untuk diusung oleh partai tersebut. Karena sejatinya yang ingin dipertaruhkan di Pilkada tersebut bukanlah sekedar gengsi dan harga diri, akan tetapi bagaimana agar kondisi daerah dan masyarakat yang dipimpin lebih baik dan mengalami kemajuan yang signifikan dalam lima tahun mendatang.
Selanjutnya, diharapkan partai politik tidak terbelenggu dengan cara dan praktek transaksional Pilkada di masa lalu, dalam artian menjatuhkan pilihan yang diusung kepada siapa yang berani membayar mahal, atau di tengah-tengah masyarakat biasa disebut dengan istilah “panen lima tahunan partai politik”. Hal ini tentu sesuatu yang tidak diharapkan, dan disesali bila terjadi. Karena harapan perubahan daerah dan masyarakat ke arah yang lebih baik, tentu hanya akan terhenti dalam wacana dan impian. Mustahil akan tercapai!
Sedangkan kepada calon perserta Pilkada, dengan adanya ketentuan baru ini, juga diharapkan berupaya meninggalkan pengalaman buruk Pilkada di masa lalu yang sarat dengan money politic atau politik uang. Diharapkan masing-masing menunjukkan kepada publik bahwa dirinya memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang baik, bukan maju berdasarkan keuangan, popularitas dan hubungan-hubungan nepotik.
Sudah saatnya calon peserta Pilkada melihat secara serius kondisi daerah dan masyarakatnya, mempertajam visi dan misinya selaku kepala daerah. Karena hal ini sepertinya sesuatu yang nyaris terabaikan saat ini. Seorang teman menyatakan “Buat apa visi misi, itu mah gampang, yang terpenting gimana caranya jadi dulu”. Ini suatu gambaran betapa dangkalnya masyarakat memaknai Pilkada. Hanya sebatas pertarungan menang kalah kandidat, bukan mempertaruhkan kondisi masyarakat dan daerah ini lima tahun lagi seperti apa? Dan dua puluh lima tahun lagi bagaimana nasipnya?
Adapun kepada segenap masyarakat pemilih, diharapkan menjadi pemilih yang cerdas, tidak lagi menjatuhkan pilihan berdasarkan keuntungan singkat yang didapatkan hari ini, apalagi memilih berdasarkan respon “serangan fajar”, sehingga dengan uang yang kecil dan tidak berkah tersebut (katakanlah Rp.50.000,- atau Rp. 100.000,-) kemudian dampaknya 5 tahun dirasakan. Tidak ada kemajuan masyarakat dan daerah yang signifikan, justru dari segi keuangan defisit dan kesejahtraan yang dicita-citakan semakin jauh.
Di samping itu masyarakat pemilih juga dituntut harus kritis, tidak terbuai dengan janji-janji manis yang dalam logika tak kan mungkin terwujud. Cukuplah mengambil pelajaran dari masa lalu, jangan mau menjadi keledai dungu yang terperosok di lobang yang sama untuk kedua kalinya. Ada baiknya masyarakat memiliki daya tawar, sejauh mana para calon peserta Pilkada memiliki komitmen dan konsep-konsep solutif dan kongkrit dalam mengatasi berbagai problematika daerah. Sehingga masyarakat pemilih dalam hal ini bukan sekedar obyek yang mengantarkan seorang kandidat pada tumpuk kekuasaan, tapi justru sebaliknya sebagai subyek yang menentukan bagaimana masa depan daerah yang diinginkan, dan siapa yang dianggap tepat untuk dijadikan pemimpin dalam mencapai tujuan daerah yang diinginkan tersebut.
Pada akhirnya, meskipun kebijakan baru Pilkada Serentak sudah ditetapkan dan aturan baru Pilkada sudah disiapkan, namun semua berpulang pada partai politik peserta Pilkada, pada kandidat calon peserta Pilkada, dan segenap masyarakat pemilih dalam Pilkada, apakah aturan dan sistim baru Pilkada ini akan diterapkan dengan konsisten atau tidak di lapangan. Semoga Pilkada yang akan kita jalani ini tidak hanya berganti nama, akan tetapi diwujudkan secara nyata, sehingga kepala daerah yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam memimpin dan mengelola daerah selama lima tahun mendatang kita dapatkan.
HIKMAT ISRAR
Kandidat Doktor Kebijakan Publik, UNPAS Bandung
harian haluan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar